Lihat ke Halaman Asli

Irma Sabriany

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Jatuh Cinta di Tidore

Diperbarui: 8 April 2018   05:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan dari Benteng Tahula (dok. pribadi)

September 2017. Pukul 09.00 WIT, temanku Sari Wahyuni atau biasa yang dipanggil Nona mengantarku menuju pelabuhan Bastiong, Ternate. Dari pelabuhan Bastiong, perjalanan menuju Tidore dengan menumpang speed boat selma delapan (8) menit dengan tarif Rp. 10.000/orang. Setiba di Pelabuhan Rum, Tidore aku menumpang angkot menuju Soasio. Soasio merupakan kota terbesar di Tidore.

Tujuanku adalah ke rumah sakit umum daerah (RSUD) kota Tidore untuk bertemu Kak Zuzan, (panggilan Kak, aku gunakan sebagai panggilan akrab untuk senior di kampus Universitas Hasanuddin).   Dalam perjalanan menuju Soasio, aku melihat pemandangan gunung Tidore. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku berjanji  semoga sebelum meninggalkan Ternate aku bisa menginjakkan kaki di Puncak Tidore. Jumlah kendaraan yang melintas sedikit, jalanan terasa lapang, artinya berkendara sangat nyaman. Udara juga segar yang disebabkan oleh banyaknya pohon di kanan-kiri jalan. Bagiku tempat ini sangat nyaman untuk lari pagi. 

Di sebelah kanan tampaklah Pulau Maitara kemudian air biru yang dihiasi pohon palem. Sepanjang perjalanan menuju Soasio tampaklah bangunan masjid yang menjorok ke laut. Tiba di RSUD kota Tidore, Kak Zuzan mengajakku makan siang di rumah salah satu perawat. Aku ingat sekali, makan siang itu dengan menu kepiting. Ini adalah pertama kalinya aku menyantap kepiting selama  hampir empat bulan berada di Propinsi  Maluku Utara.

Malam hari adalah waktuku untuk bersilaturahmi dengan salah satu senior di Kelautan Universitas Hasanuddin (UH) yakni Kak Khalish. Setelah berbincang-bincang, akhirnya kak Khalish mengajakku menyelami keindahan bawah laut Tidore. Tidak tanggung-tanggung yakni night dive.

"Besok malam kita night dive di Tugulufa saja", Kata Kak Khalish. Ajakannya pun langsung aku terima. Mengutip Kak Khalish, kalau night dive kamu bisa melihat walking sharks. Hewan ini dikenal sebagai nocturnal. Saat itu penyelaman dilakukan di kedalaman sampai 15 meter. Dan ternyata apa yang diucapkan kak Khalish terbukti. Menyelam pertama aku melihat walking sharks. Cantik sekali. Masyarakat Tidore menyebut walking sharks ini dengan sebutan Gurango Buta-Buta yang merupakan salah satu dari Sembilan jenis hiu berjalan yang ada di dunia.

Berikutnya setiap kedatanganku ke Tidore, Kak Khalish selalu mengajakku menyelam baik itu di Tugulufa atau pelabuhan Trikora.

Menyelam di Pelabuhan Trikora, Tidore (dok. pribadi)

Selain menyelam, aku juga mengunjungi benteng Tahula dan benteng Tore. Ada juga keraton kerajaan Tidore. Kunjungan ke benteng Tahula atas ajakan Kak Zuzan dan kak Ariel. Aku ingat kunjungan ke benteng Tahula siang hari. Menaiki anak tangga, sampai di atas  dan akan disuguhkan pemandangan biru laut,  Tanjung Soasio dan Pulau Halmahera. Tidak ada tiket masuk hanya sumbangan seikhlasnya buat yang membersihkan kompleks benteng Tahula ini.

Benteng Tahula di buat oleh Spanyol. Pembangunan Benteng ini dimulai tahun 1610 oleh Cristobal de Azcqueta Menchacha (1610 -1612) yang merupakan Gubernur Spanyol saat itu. Benteng Tahula ini terletak di pinggir pantai. Membutuhkan upaya untuk sampai ke atas. Kira-kira ada 120-an anak tangga. Di benteng ini ada penjara juga. Benteng ini masih terawat dengan baik. Ada gazebo juga.

Benteng Tahula (dok. pribadi)

Jika kunjungan ke benteng Tahula bersama Kak Zuzan dan Kak Ariel berbeda halnya saat kunjunganku benteng Torre aku berangkat seorang diri. Dari berbagai sumber menyebutkan bahwa benteng Torre merupakan bukti bahwa Portugis pernah ada  di Tidore. Untuk sampai ke atas, harus naik puluhan anak tangga. Harga tiket masuk Rp. 2.000/orang. Di sepanjang tanjakan, ada dua gazebo. Dari berbagai sumber menyebutkan bahwa benteng Torre dibangun pada tahun 1578 oleh  Kapten Portugis Sancho de Vasconcelos ini berdasarkan persetujuan Sultan Gapi Baguna yang saat itu memerintah. Nama Torre sendiri diyakini berasal dari nama Kapten Portugis lainnya yaitu Hernando de la Torre.

Benteng Torre (dok. pribadi)

Setelah mengunjungi kedua benteng tersebut, aku menarik kesimpulan bahwa dua benteng ini sama-sama dibangun di atas bukit batu. Sepertinya waktu itu benteng tersebut berfungsi sebagai pusat pertahanan

Salah seorang seniorku di Korpala Unhas yakni Kak Farida berpesan kepadaku jika aku ke Tidore maka sempatkanlah untuk mengunjugi desa Gurabunga. Atas ajakan sepupu Kak Isra yakni Zainuddin aku mengunjungi  sebuah desa yakni Gurabunga. Gurabunga memiliki arti desa Bunga. Mengunjungi desa ini akan nampak pemandangan susunan rumah penduduk yang tertata dengan bunga-bunga yang indah  dengan beraneka ragam warna dan bau harum dari kayu manis yang sedang dijemur. Letaknya di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut (MDPL) tentu saja menjadikan desa Gurabunga memiliki udara yang sejuk. Orang-orang memberikan sebutan desa Gurabunga dengan nama "Negeri Di atas Awan".  Aku pernah baca di salah satu majalah (lupa namanya) bahwa masyarakat Tidore percaya, Desa Gurabunga dikenal sebagai tempat tinggal para sohowi atau penghubung antara pihak Kesultanan Tidore dengan roh leluhur. Dari Gurabunga perjalananku dilanjutkan menuju Lada Ake.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline