"Harga ayam potong naik!", begitulah celoteh seorang ibu di Pasar tradisional pada hari H-1 lebaran dua hari lalu. Memang betul, pada saat itu harga daging ayam yang biasanya berkisar "dua puluh tujuh ribu hingga tiga puluh lima ribu rupiah", tiba-tiba melonjak jadi dua kali lipat. Suatu harga yang sudah tidak wajar lagi untuk ukuran masyarakat yang berpenghasilan rendah (baca miskin). Untuk memenuhi kebutuhan lebaran dengan berbagai pangananan sederhana saja, uang seratus ribu tidaklah cukup untuk membeli bahan baku memasak seperti santan, bumbu masak, cabai, hingga sayur-mayurnya. Kesemuanya itu akibat tingginya permintaan pasar di saat stock barang di pedagang yang terbatas. Hal itulah dalam istilah ekonominya dikenal dengan inflasi.
Inflasi diharapkan sekecil mungkin, karena kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perekonomian suatu pemeriintahan. Kalau inflasi yang tidak terkendali, seperti harga naik dua kali lipat, maka guncangan ekonomi di level bawah (orang-orang miskin) pasti akan terjadi. Pada saat harga beras (misalnya) naik dua kali lipat, sudah pasti orang miskin tidak akan mampu membeli dalam jumlah yang cukup apalagi lebih untuk kebutuhannya. Sehingga inflasi akan berdampak juga kepada sosio--ekonomi hingga sosio-politik. Sebagaimana kita ketahui yang mendasari reformasi 1998, salah satunya dipicu krisis moneter yang tidak kunjung selesai pada saat itu.
Mari kita teliti kembali inflasi yang terjadi di bulan Ramadhan yang baru lalu; di awal Ramadhan kita sudah dihebohkan dengan naiknya harga daging sapi. Kemudian diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya, seperti gula dan terakhir harga daging ayam. Kenaikan tersebut menujukkan jelasssekali sifat konsumerisme kita meningkat di bulan tersebut. Pemerintah sudah melakukan operasi pasar dengan menjual daging import seharga delapan puluh ribu rupiah, tapi kenyataannya harga daging di pasar tradisional tetap tidak bergeming dari kisaran seratus tiga puluh ribu hingga seratus empat puluh ribu rupiah. Itu artinya masih tingginya permintaan pasar pada saat Ramadhan hingga menjelang Idul Fitri.
Sifat konsumerisme yang tinggi selama satu bulan berpengaruh terhadap tingginya inflasi di bulan tersebut. Kalaulah inflasi di antara 10 - 30 %, maka suatu hal yang wajar, tapi kalaulah sudah mencapai di atas 100% atau dua kali lipat dari harga sebelumnya, maka pengaruhnya akan sangat luas. Seandainya masyarakat dapat mengerem sifat "petualangan kuliner" selama Ramdhan hingga lebaran, maka dipastikan permintaan akan kebutuhan pokok akan biasa saja. Ini sangatlah berbeda dengan kenyataan, di bulan Ramadhan bisnis kuliner bak cendawan di musim hujan, hampir di semua sudut jalan tidak ada yang kosong dari lapak penjual panganan untuk berbuka, dari makanan ringan hingga makanan pokoknya. Belum lagi berbagai paket buffet yang ditawarkan semua agent perhotelan dan restaurant serta cafe-cafe. Petualangan lidah orang-orang merasa tertantang dengan menahan lapar di siang hari dan harus memuaskannya pada saat berbuka dengan makanan yang lezat dan berkualitas.
Sehingga wajarlah, konsumerisme meningkatkan inflasi. Kalaulah inflasi bersifat sementara, tidaklah menjadi kendala. Yang menjadi masalah kita semua adalah pada saat inflasi tersebut bersifat permanent. Bagaimana bisa? Dengan skenario kenaikan daging ayam yang dua kali lipat dari harga biasanya, dan seandainya penurunannya hanya tiga puluh persen dari harga kenaikan tersebut, maka dipastikan harga penyesuaian baru dari daging ayam tersebut adalah naik tiga puluh hingga lima puluh persen dari harga sebelum Ramadhan. Itu adalah contoh kalau kenaikan temporary (sementara) diikuti dengan inflasi yang permanent.
Kalau sudah begitu, siapa yang akan dirugikan? Yang jelas rakyat yang kurang mampu. Kemudian pemerintah akan bekerja keras lagi untuk mendorong pasar kembali ke arah normal, akibatnya anggaran subsidi pemerintah akan tersedot ke pasar untuk menstabilkan harga. Padahal anggaran tersebut bisa saja dialokasikan untuk yang lain, seperti pembangunan infrastruktur.
Akhirnya, saya merekomendasikan kepada kita semua mari tahan nafsu belanja kita, walaupun ada dana yang berlebih, sebaiknya diinvestasikan. Kurangi belanja secara berlebihan di saat bulan amdahan atau bulan ke-agamaan lainnya (natal dan tahun baru). Harapannya, kalau kita tidak terlalu konsumerisme, maka inflasi akan rendah dan seandainya kenaikan harga tidaklah semelonjak seperti sekarang ini.
Palembang, 7 Juli 2016
Bacaan:
https://galihpangestu14.wordpress.com/2011/03/23/dampak-inflasi-terhadap-perekonomian-indonesia/