Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Perlindungan Moral: Selubung Proteksionisme Gaya Lama

Diperbarui: 30 Agustus 2020   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.biem.co/

Lusa lalu, RCTI dan iNews melakukan gugatan terhadap UU Penyiaran. Gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) ini dilakukan dengan alasan perlindungan moral. "RCTI dan iNews bukan ingin kebiri kreativitas medsos, uji materi UU Penyiaran untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa," tandas MNC Group dalam keterangan tertulis (Tim detikcom, 2020).

Mengemukanya alasan ini langsung memicu reaksi negatif publik. Tagar #BoikotRCTI pun menjadi trending topic nomor satu di Twitter. Dalam unggahan tersebut, banyak warganet yang menganggap alasan di atas hipokrit. Berseru tentang moralitas publik, namun tayangan yang disajikan banyak melanggar moral. Mulai dari adegan pelukan, ciuman, dan lain sebagainya.

Kemudian, argumen ini kembali dipertegas oleh komentar yang diunggah oleh Jessica Tanoesoedibjo di Instagram. Berikut adalah tangkapan layar komentar tersebut:

jessica-5f4b3d53d541df18e2764984.jpg

Gong dari komentar tersebut terletak pada kalimat terakhir. It's a matter of nationalism, friends. Melihat pernyataan ini, para warganet maha benar langsung membalas secara ofensif. Ada yang mempertanyakan nasionalisme keluarga Tanoesoedibjo. Bahkan, ada salah satu unggahan yang menggaungkan rasialisme (portal-islam.id, 2020).

Menurut hemat penulis, kedua belah pihak dalam diskursus ini tidak nyambung. Mereka sama-sama menggunakan nasionalisme, namun dalam konteks yang berbeda. Jessica Tanoe mengangkat nasionalisme ekonomi. Sementara para pengkritik malah membalasnya dalam konteks nasionalisme nativis. Aneh bin ajaib.

Sekarang, mari kita kupas nasionalisme ekonomi dalam konteks gugatan ini. Istilah tersebut memiliki arti praktik kebijakan yang mendukung, membantu, dan melindungi ekonomi nasional dari persaingan global (Pryke dalam globalpolicyjournal.com, 2020). Artinya, pelaku ekonomi domestik harus diberikan preferential treatment secara ekonomi. RCTI dan iNews sebagai entitas bisnis penggugat jelas menginginkan preferensi tersebut.

Maka dari itu, mereka meminta agar media digital yang didominasi asing diatur dalam regulasi yang serupa. Mereka mengklaim bahwa ini akan membentuk "persaingan yang adil". Selain itu, penggugat juga menganggap bahwa pemerintah harus meregulasi sektor media sebagai corong komunikasi massa. Termasuk membatasi pengaruh asing dalam sektor media.

Melihat alasan ini, penulis mencium aroma proteksionisme. RCTI dan iNews meminta perlindungan pemerintah dari media digital asing yang disruptif. Terlebih lagi, permintaan ini dilakukan atas nama nasionalisme dan regulasi demi kepentingan moral publik. Inilah kelihaian dari korporasi besar. Membungkus kepentingan bisnis dengan kepentingan publik.

Akan tetapi, ini bukan selubung baru. Bisnis-bisnis besar di berbagai penjuru dunia sudah menggunakan trik ini berkali-kali. Mereka ingin "penjaminan segmen pasar" oleh negara lewat regulasi yang meningkatkan barrier and cost of entry. Ketika ada disruptor baru yang muncul, mereka pasti meminta pemerintah untuk melakukan hal yang sama; regulate them!

Sentimen regulate them as you regulate us ini menganga jelas. Penggugat ingin agar media sosial menjadi lembaga penyiaran yang berizin. Implikasinya, para pengguna media sosial pun wajib mendapatkan izin dalam menggunakan layanan live di media sosial (Prabowo dan Biantika dalam tirto.id, 2020). Alamak! Pemerintah diminta untuk mengatur hal demikian?

Padahal, poin keunggulan disruptor tersebut terletak pada kemampuannya menembus batasan regulasi. Sehingga, mereka bisa menyajikan konten yang menarik dengan biaya dan lingkup pilihan yang lebih luas. Lihat saja apa yang kita rasakan ketika menggunakan Youtube atau Netflix. Ada ribuan, bahkan jutaan tontonan yang bisa kita pilih, di mana saja dan kapan saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline