Lihat ke Halaman Asli

Rionanda Dhamma Putra

Ingin tahu banyak hal.

Jadi Inginnya Kabinet Milenial atau Kabinet Meritokratik?

Diperbarui: 21 Juli 2019   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan milenial BUMN | Antara Foto

Pada awal Juli, Presiden Jokowi mengumumkan garis besar haluan kabinet barunya. Namanya masih sama, hanya ditambahkan "Jilid 2" di belakangnya. Namun, ada sebuah perbedaan besar dengan Kabinet Kerja Jilid 1. Apa perbedaan tersebut?

Kabinet Kerja Jilid 2 mengundang keterlibatan Millennials yang lebih besar. Presiden Jokowi sendiri menyatakan hal ini secara eksplisit kepada segenap partai pendukungnya. 

Beliau meminta partai-partai dalam Koalisi Indonesia Kerja untuk mengirimkan nama-nama kader mudanya. Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia sampai mengirimkan 44 nama kader mudanya (Ihsanuddin dalam nasional.kompas.com, 2019).

Mengapa Presiden Jokowi melakukan hal ini? Menurut hemat penulis, Beliau ingin mengadakan penyegaran terhadap mentalitas Kabinet Kerja. Saat ini, Kabinet Kerja diisi oleh para politisi dan profesional dari Generasi Baby Boomer dan Generasi X. Perlu diakui, banyak dari menteri-menteri tersebut yang berhasil. Seperti Ibu Sri Mulyani dan Ibu Susi Pudjiastuti.

Tetapi, masih banyak kementerian yang terlihat menjadi dead end. Jalan buntu alias tidak bisa diperbaiki Presiden Jokowi pasti ingin mengganti menteri-menteri tersebut dengan kader muda. Mengapa? Banyak kader muda/millennials dengan ide-ide cemerlang dan semangat untuk memperbaikinya. Baik dari dunia politik maupun kalangan profesional. The President wanted to tap into its potential.

Masih ingat dengan Bro Saddiq? Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia yang sempat diajak nge-vlog bersama Presiden Jokowi? Sosok seperti ini yang Presiden Jokowi ingin munculkan dalam Kabinet Kerja Jilid 2.

Memang, sosok muda, cemerlang, serta bersemangat adalah nilai tambah untuk menjadi seorang menteri. Tetapi, apakah itu cukup? Jelas tidak cukup. Ada empat kualitas utama lain yang diperlukan untuk menjadi seorang menteri.

Pertama, sosok tersebut harus mempunyai integritas. Integritas tersebut terdiri atas tiga unsur. Bersih, transparan, dan profesional. Ia tidak boleh memperkaya diri dari jabatannya. Selanjutnya, sosok itu harus mampu membuktikan segenap kekayaannya sebagai menteri. Terakhir, Ia harus mampu memisahkan kepentingan pribadinya dengan kepentingan negara.

Kedua, sosok tersebut harus memiliki viable working plan. Mempunyai ide-ide cemerlang saja tidak cukup. Sosok tersebut harus mempunyai rencana kerja untuk mewujudkan ide tersebut menjadi kebijakan publik. Rencana kerja tersebut harus bisa dilaksanakan (doable). Selain itu, ia harus sesuai dengan semangat pemerintahan Jokowi sebagai reforming government.

Ketiga, sosok tersebut harus mengesampingkan popularitas. Presiden Jokowi sendiri berjanji untuk mendorong sweeping reforms di periode kedua. Tidak semua upaya reformasi tersebut akan populer di mata rakyat. Justru, kebanyakan dari mereka pasti tidak populer dalam jangka pendek. Sosok itu harus bertahan menerjang unpopularity untuk mendapatkan keuntungan reformasi dalam jangka panjang.

Keempat, sosok tersebut harus berani melakukan disrupsi. Artinya, para kader muda ini harus berani mengubah mentalitas kementeriannya. Khususnya pada kementerian-kementerian yang dianggap dead end. Sosok pemimpin seperti BTP dan Ibu Risma sudah membuktikannya. Mentalitas birokrasi bisa dirubah kalau kepalanya lurus dan berani. Semestinya, kader muda berani melakukan hal ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline