Lihat ke Halaman Asli

Krisis Pasar Properti China Jadi Ancaman Global?

Diperbarui: 8 Oktober 2022   18:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Upacara Pengibaran Bendera Rayakan HUT RRT Ke-73. Foto: Instagram/chinaembassy_indonesia

China adalah negara adidaya ke-2 yang paling berpengaruh di dunia kini menjadi buah bibir masyarakat dunia karena kondisi perekonomiannya. Bisa digambarkan bahwa saat ini China sedang berada di jurang krisis. Faktor pandemi COVID-19 yang diperparah dengan adanya ketegangan dunia politik menjadi faktor krisisnya ekonomi China.

Terpuruknya ekonomi China dapat dibuktikan dengan adanya krisis properti. Skema ponzi diterapkan China dalam pengembangan bisnis mereka yang berarti para pengembang 'memutar' uang yang mereka dapat dari hasil penjualan properti untuk membangun properti baru. Adanya pembatasan pinjaman terhadap lembaga keuangan berdampak pada pengembang yang kemudian tidak bisa melanjutkan pembangunan.

Pembatasan tersebut adalah turunan dari kebijakan "tiga garis merah" yang bertujuan untuk mengempeskan gelembung properti China yang sudah terjadi dalam beberapa dekade.

Daya beli masyarakat menurun sejak adanya pandemi COVID-19 sehingga para pengembang tidak mendapatkan sumber pemasukan. Oleh karena itu, banyak pengembang yang tidak melanjutkan pengembangan dan dibiarkan begitu saja, tentunya akan menimbulkan kerugian bagi perekonomian tersebut.

Kemudian cuaca ekstrem juga berdampak pada sektor industri China. Gelombang panas yang parah dan kekeringan melanda provinsi barat daya Sichuan dan Chongqing pada bulan Agustus 2022.

Selain itu, Managing Director Teneo, Perusahaan Analisis Risiko, Gabriel Wildau mengatakan bahwa krisis properti yang terjadi di China adalah ulah dari kebijakan pemerintah.

"Tekanan akut yang dialami pasar saat ini adalah akibat langsung dari pembatasan pinjaman yang sangat ketat kepada pengembang yang diberlakukan sekitar satu setengah tahun yang lalu," ujar Gabriel.

Kebijakan "tiga garis merah" memiliki tujuan ganda. Pertama unruk mengurangi adanya ketergantungan ekonomi yang berlebihan pada properti. Kedua, meredam spekulasi yang membuat harga rumah di luar jangkauan banyak orang di kelas menengah.

Kebijakan tersebut menuntut pengembang untuk memenuhi penanda kesehatan keuangan yang ketat, termasuk batasan 100% pada utang bersih terhadap ekuitas untuk meminjam dari bank dan lembaga keuangan lainnya. Singkatnya, adanya pembatasan pinjaman bagi pengembang terhadap lembaga keuangan.

Faktanya, telah banyak pengembang yang beroperasi jauh sebelum adanya kebijakan "tiga garis merah" dan dibebani hutang yang sangat besar. Hal itu berdampak tidak dapat meminjam lagi karena adanya kebijakan baru tersebut yang menyebabkan munculnya krisis keuangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline