Lihat ke Halaman Asli

Lindungi Anak dari Intoleransi adalah Tantangan Bersama

Diperbarui: 19 Juli 2022   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika

Sekitar tiga tahun lalu ada artikel menarik di sebuah laman berita Australia berbahasa Indonesia. Artikel itu bercerita dialog ayah dan putrinya, sang ayah sudah berpisah dengan istrinya dan putrinya itu bertemu dengan ayahnya sehari sampai dua hari setiap bulannya.

Anya (bukan nama sebenarnya) tetiba menangis ketakutan, saat ditanya penyebab menangis oleh sang ayah (Bagas), Anya berkata : Dia bilang 'Pah...nanti kalau Palestina diserang Israel, kita juga ikut mati enggak Pah?'," cerita Bagas menirukan pertanyaan polos putrinya.

Pertanyaan itu memicu Bagas mengajukan banyak pertanyaan kepada anaknya itu. Dia memang menyimpan banyak hal tentang sekolah anaknya karena mereka hidup terpisah dengannya. Terlebih dia pernah mendapati seorang guru yang pernah kontak dengan Bagas, punya foto profil dengan latar belakang HTI di wa nya.

Lalu muncullah cerita dari mulut anaknya tentang sekolahnya : Bahwa dia mendapat informasi soal konflik Israel -Palestina dari gurunya di sekolah, bahwa tidak pernah ada upacara bendera, Tidak ada bendera merah putih, tidak ada symbol-simbol negara di kelasna, tidak pernah menyanyikan Indonesia Raya dan anaknya itu tetap masuk meski hari libur karena perayaan agama lain seperti Nyepi, Waisyak atau Paskah dan Natal. Perlu diketahui sekolah anaknya itu telah punya 80 cabang di belasan provinsi di Indonesia dan berjargon sebagai sekolah pencetak Hafizh Quran terkemuka.

Pembaca jangan kaget, kasus seperti Anya ini adalah satu saja diantara ribuan bahkan jutaan kasus serupa. Bahkan pernah didapati seorang anak yang baru menginjak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) menolak ajakan orangtuanya ke mal karena menganggap orang lain itu kafir.

Keluarga juga mengambil peran besar dalam membentuk prespektif anak.. Dari hasil pemetaan psikologis, anak dari mantan keluarga pelaku bom bunuh diri di Surabaya punya  keinginan kuat menjadi mujahid, anti-Pancasila, anti-merah putih, rindu bertemu orang tuanya di alam lain.Dia juga berterusterang jika kangen menonton aksi kekerasan bersama orangtuanya dulu.

Baik Anya, anak PAUD di atas dan beberapa kasus lain,  sejatinya sudah terpapar intoleransi secara massif -- mungkin tanpa diduga oleh lingkungan terdekatnya sendiri. Mereka sering mendapati bahwa anak mereka terpapar ketika sudah parah dengan salahsatu tandanya adalah berempati dengan para radikalis dan memusuhi teman dan pihak yang berbeda keyakinan dengannya bahkan para sepupu atau kerabatnya sendiri namun beragama berbeda.

Ini kenyataan pahit yang ada dalam Pendidikan kita. Bagaimana melindungi anak dari virus intoleransi dan Radikalisme ini adalah tantangan tersendiri. Perlindungan ini harus kita lakukan mengingat melindungi anak dari virus intoleransi, radikalisme dan terorisme sejatinya bagian dari menyelamatkan masa depan bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline