Lihat ke Halaman Asli

UKG dan Budaya Literasi

Diperbarui: 30 Desember 2015   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diperoleh para guru beberapa waktu lalu merupakan indikator untuk mengukur sejauh mana penguasaan mereka terhadap materi yang berkaitan dengan bidang profesinya. Dalam hal ini kemampuan guru dalam menjawab soal-soal yang diujikan ditentukan oleh berapa banyak waktu yang mereka alokasikan setiap harinya untuk bergelut dengan buku maupun sumber-sumber informasi lainnya. Dengan kata lain, kegiatan evaluasi yang pelaksanaannya tak pernah lepas dari polemik tersebut sejatinya merupakan instrument yang tepat untuk menggambarkan tingkat literasi di kalangan pendidik.

            Literasi pada dasarnya merupakan kemampuan membaca, menulis serta berdiskusi yang selayaknya dimiliki oleh setiap pendidik. Ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi saat seseorang memutuskan untuk terjun menjadi seorang pendidik. Tanpa adanya kemampuan literasi secara memadai, proses transfer ilmu pengetahuan maupun penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik pun akan sulit dilaksanakan.

            Adapun hasil penelitian Programme for Internasional Student Assesment (PISA) yang menyatakan bahwa literasi masyarakat Indonesia merupakan yang terburuk kedua dai 65 negara yang diteliti merupakan kenyataan pahit yang harus kita terima. Hal ini tentu saja menjadi sebuah ironi di tengah melimpahnya jumlah tenaga guru serta semakin meningkatnya anggaran pendidikan dari waktu ke waktu. Buramnya potret pendidikan tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari budaya literasi di kalangan pendidik yang cukup memprihatinkan.

            Kenyataan menunjukkan, sebagian besar pendidik di negeri ini terjebak dalam rutinitas yang bersifat birokratis. Pemenuhan jumlah jam mengajar seakan dijadikan satu-satunya kewajiban yang harus dilakukan oleh pendidik dalam rangka melahirkan generasi unggul dan berkarakter. Adapun berbagai kegiatan terkait dengan peningkatan kemampuan literasi (membaca, menulis dan berdiskusi) rupanya masih dianggap sebagai aktivitas yang sifatnya “fardhu kifayyah”. Tak heran apabila output yang dihasilkan pun sangat jauh dari harapan. Data statistik UNESCO pada tahun 2012 menunjukkan bahwa, indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari seribu orang Indonesia hanya satu orang saja yang benar – benar memiliki ketertarikan terhadap aktivitas membaca.

            Untuk membangkitkan budaya literasi di kalangan pendidik, diperlukan perubahan paradigma dalam memandang profesi yang tengah mereka jalani saat ini. Dalam hal ini upaya peningkatan kompetensi hendaknya menjadi bagian tak terpisahkan dari tugasnya sebagai seorang pendidik. Adapun UKG selayaknya dijadikan sarana untuk mengukur sejauh mana kita telah melaksanakan kewajiban sebagai seorang pendidik. Sekalipun tidak mampu dijadikan instrument untuk mengukur kompetensi guru secara keseluruhan, hasil UKG tetap dapat kita jadikan indikator untuk melihat tingkat literasi yang sejatinya mencermimkan kompetensi pedagogik maupun profesional. Dengan demikian, kegiatan evaluasi guru yang menghabiskan anggaran cukup besar tersebut dapat berimplikasi positif pada peningkatan budaya literasi di kalangan pendidik. (Dimuat di Koran Siap Belajar Edisi Akhir Desember)

 

Ramdhan Hamdani

 

www.pancingkehidupan.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline