Lihat ke Halaman Asli

Berbisnislah Selagi Muda (2)

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kalau topik ini saya penggal-penggal, lebih karena supaya tulisan tidak berpanjang-panjang. Tren (keblinger) saat ini adalah, "orang cenderung malas membaca tulisan yang berpanjang-panjang". Sementara, para senior dan guru dulu hanya mengajarkan, "Buku pangkal ilmu, membaca pangkal cerdas".

Kembali ke lapppp-toppp!!! Mengapa bisnis selagi muda menjadi anjuran yang penting? Karena berbisnis ketika sudah tua, sudah biasa! Masa pra-pensiun, siap-siap konsep bisnis. Ketika masuk pensiun, langsung eksekusi bisnis. Ahhh, itu normatif.

Yang saya maksud adalah, kita harus menghidup-hidupkan semangat bisnis sejak muda. Di mana batasan muda? Bisa di usia belasan, atau dua-puluhan. Bukankah itu usia sekolah dan kuliah? Ah, tidak masalah. Karena memupuk jiwa dan mental berbisnis tidak harus meninggalkan bangku sekolah atau kampus.

Berikut sejumlah inspirasi.... Saya punya teman SMP. Dia lahir dari keluarga yang terbilang tidak mampu. Bahkan, ketika tamat SMP, dia memutuskan ke Bandung untuk bekerja. Dia pun bekerja jadi pelayan restoran Padang. Targetnya 6 bulan. Setiap bulan, gajinya dibuat utuh (makan-tidur di warung). Ketika terhimpun gaji utuh enam bulan, dia memutuskan keluar.

Usaha! Itulah yang ada di benaknya. Dengan modal yang tidak banyak, dibelikannya rokok, dan dijajakannya door to door pada pegawai-pegawai gubernuran di Gedung Sate. Mula sekali, dia mencatat merek-merek rokok pegawai di sana, kemudian menawarkannya untuk menjadi penyuplai rokok dengan harga sedikit lebih mahal, tetapi boleh bayar usai gajian.

Pendek kata, tidak sampai satu tahun, temen saya ini sudah bisa membangun sebuah warung rokok kecil di salah satu sudut, tak jauh dari Gedung Sate. Bisnis makin maju. Kemudian dia serahkan kepada sang paman untuk mengelola, sementara dia kembali ke kotanya untuk meneruskan sekolah.

Itu contoh seorang remaja, mengorbankan waktu setahun untuk mencari modal dengan cara menjadi pelayan restoran. Enam bulan kemudian jualan rokok dan sukses, kemudian bisa untuk biaya meneruskan pendidikan.

Seorang teman lain, memupuk mental bisnis ketika kuliah. Ketika para mahasiswa lain asyik dengan dunia-muda, dia mendekati para dosen. Meminjam buku-ajar, lantas dia gandakan. Awalnya hanya untuk teman-teman dekat. Lama-lama ia perluas hingga satu kampus. Singkatnya, ketika kebanyakan mahasiswa masih menengadahkan telapak tangan meminta uang kepada orang tua untuk biaya kuliah dan biaya ini-itu, si kawan ini sudah bisa mandiri.

Lagi. Kawan dari kota asal. Ide bisnis muncul ketika naik kereta api ke Jakarta. Ketika itu, pedagang asongan masih ramai di stasiun-stasiun. Nah, di sekitar stasiun Kroya, banyak pedagang jual pisang sale (ehhh... tulisannya sale atau sele yaaa.... tapi itulah, pisang asap manis).

Ia membeli sebatas bekal yang ada di kantong. Sesampai di Jakarta, ia beli plastik dalam ukuran yang lebih kecil, dan menjadikannya menjadi lebih banyak bungkus. Kemudian ia taruh di warung-warung sekitar tempat dia kos. Secara berkala ia datang untuk mengambil uang dari setiap bungkus sale yang terjual.

Uang bisnis untuk bisnis. Keuntungan itu diputar. Manakala ia kembali mudik, dibelinya sale dalam partai yang lebih besar. Kali ini, ia tidak hanya menaruhnya di warung sekitar kosnya, tetapi di sepanjang rute ia pergi-pulang kantor. Tanpa terasa, lama kelamaan, dari yang semula berangkat naik sepeda motor, akhirnya bisa terbeli sebuah mobil minibus seken. Dengan mobil, ia bisa membawa sale lebih banyak lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline