Lihat ke Halaman Asli

Memahami Budaya Patriarki dan Keberagaman Gender di Indonesia

Diperbarui: 11 Juni 2025   21:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber : freepik.com)

Diskusi tentang kesetaraan gender di Indonesia semakin sering muncul di berbagai media. Namun, masyarakat kita masih menghadapi kesulitan dalam memahami dan menerima keberagaman identitas gender. Budaya patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia bukan hanya warisan budaya, tetapi juga sistem yang terus mempertahankan ketidakadilan berdasarkan peran gender.

Apa Itu Patriarki dan Bagaimana Pengaruhnya?
Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama. Sistem ini tidak hanya dipelajari di bangku kuliah, tetapi benar-benar ada dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa melihatnya dalam pembagian tugas rumah tangga, harapan masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki, serta struktur kepemimpinan di tempat kerja dan politik.
Dr. Sinta Nuriyah, peneliti gender dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa patriarki di Indonesia memiliki bentuk yang rumit. "Patriarki di Indonesia tidak sederhana. Sistem ini bercampur dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan pemikiran modern yang menciptakan situasi yang unik," katanya. Ketidakadilan gender ini terlihat jelas dalam berbagai bidang kehidupan. Di dunia kerja, perempuan masih menghadapi perbedaan gaji dan kesempatan untuk naik jabatan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa Indeks Ketimpangan Gender Indonesia sudah turun menjadi 0,447 pada 2023, tetapi angka ini masih menunjukkan adanya kesenjangan yang besar antara laki-laki dan perempuan di berbagai sektor.

Keberagaman Gender yang Dilupakan
Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan budaya yang mengakui keberagaman gender sejak lama, bahkan sebelum istilah-istilah modern seperti LGBTQ+ muncul.  Masyarakat Bugis di Sulawesi mengenal lima jenis gender, yaitu oroan(laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (perempuan dalam tubuh laki-laki), calalai (laki-laki dalam tubuh perempuan), dan bissu (gender netral yang dianggap suci). Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh pemahaman agama yang kaku, pengakuan terhadap keberagaman ini mulai hilang. "Sangat disayangkan bahwa kita justru kehilangan kearifan lokal kita sendiri," kata Hartoyo, aktivis HAM dan gender yang sudah puluhan tahun memperjuangkan hak-hak komunitas LGBTQ+ di Indonesia. Hal ini menunjukkan bagaimana pemahaman gender yang hanya mengenal laki-laki dan perempuan telah menggeser pemahaman tradisional yang lebih terbuka. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa identitas gender dan seksualitas manusia jauh lebih beragam dari sekadar kategori laki-laki dan perempuan.

Diskusi Gender yang Memanas
Saat ini, setiap pembahasan tentang gender dan seksualitas sering berujung pada perdebatan yang panas. Media sosial menjadi tempat pertarungan pendapat yang keras, dengan satu pihak mendorong keterbukaan dan pihak lain menolak dengan alasan nilai-nilai tradisional dan agama. Kontroversi-kontroversi ini tidak muncul begitu saja. Mereka menunjukkan adanya konflik antara nilai-nilai tradisional dengan tuntutan zaman modern, antara pemahaman agama yang konservatif dengan pemahaman yang lebih terbuka, serta antara keinginan mempertahankan keadaan yang ada dengan tuntutan perubahan sosial. Kasus-kasus yang muncul di media, mulai dari diskusi tentang transgender dalam olahraga internasional hingga perdebatan tentang hak-hak komunitas LGBTQ+ di Indonesia, menunjukkan bahwa masyarakat kita masih kesulitan memahami gender dan seksualitas secara menyeluruh.

Pendidikan sebagai Kunci Perubahan
Mahasiswa, sebagai agen perubahan, berada di posisi penting untuk memahami dan memperjuangkan isu-isu gender. Namun, pemahaman yang mendalam tentang patriarki dan keberagaman gender tidak bisa diperoleh hanya dari teori-teori akademis. Diperlukan kesadaran kritis yang mampu melihat bagaimana sistem ketidakadilan bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
Prof. Dr. Musdah Mulia, ahli gender dan Islam, menekankan pentingnya pendekatan yang menyeluruh. "Memahami gender bukan berarti menolak nilai-nilai agama atau budaya. Sebaliknya, kita perlu menggali kembali nilai-nilai universal tentang keadilan dan kesetaraan yang ada dalam tradisi kita," jelasnya.


Pendidikan gender yang efektif harus mampu membongkar mitos-mitos yang selama ini mengekang, seperti anggapan bahwa perempuan secara alamiah hanya cocok untuk peran domestik, atau bahwa laki-laki harus selalu kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi. Stereotip-stereotip ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga laki-laki yang terjebak dalam harapan maskulinitas yang kaku. Perubahan sosial menuju keadilan gender membutuhkan waktu dan keterlibatan banyak pihak. Mahasiswa dapat memulainya dari lingkungan terdekat dengan mengkritisi bias gender, mendukung kebijakan inklusif, dan aktif dalam kegiatan yang mendorong kesetaraan. Dialog dengan pihak berbeda pandangan juga penting, karena perubahan berkelanjutan tercipta melalui komunikasi, bukan konfrontasi.

Refleksi untuk Masa Depan
Memahami patriarki tidak berarti membenci tradisi atau budaya kuno; itu berarti mengenali nilai-nilai yang harus dipertahankan dan yang harus diubah untuk keadilan. Keberagaman seksualitas dan gender bukan ancaman bagi masyarakat; sebaliknya, mereka adalah fakta hidup yang harus diterima dan dihargai. Dengan cara ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua golongan tanpa kehilangan ciri-ciri budaya kita yang penting. Sebenarnya, perjuangan untuk kesetaraan gender adalah perjuangan untuk kemanusiaan yang lebih baik. Dengan menerima perbedaan dan keberagaman, kita tidak hanya menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan komunitas LGBTQ+, tetapi juga membebaskan laki-laki dari tekanan yang disebabkan oleh sifat maskulinitas mereka. Masa depan Indonesia yang lebih adil dimulai dari kesadaran masyarakat saat ini, yaitu keberanian untuk menantang standar yang selama ini dianggap adil. Karena keadilan gender pada akhirnya berkaitan dengan kebebasan dan martabat setiap manusia.

Referensi
Badan Pusat Statistik. (2024). Indeks Ketimpangan Gender (IKG), 2020--2023. Diakses pada 9 Juni 2025, https://www.bps.go.id/en/pressrelease/2024/05/06/2387/indeks-ketimpangan-gender--ikg--indonesia-mengalami-penurunan-yang-signifikan-menjadi-0-447--menunjukkan-perbaikan-yang-stabil-dalam-kesetaraan-gender.html


Komnas Perempuan. (2023). Catatan Tahunan (CATAHU) 2023: Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Komnas Perempuan. Diakses dari https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peluncuran-catatan-tahunan-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2023


Nuriyah, S. (2021). Membaca Ulang Patriarki dalam Konteks Indonesia: Agama, Budaya, dan Tantangan Modern. Jakarta: Pustaka Gender.


Supriyoghi, R. (2023). Memahami Konsep Gender di Suku Bugis: Antara Tradisi dan Transformasi. Universitas Negeri Malang. Diakses dari https://waqafilmunusantara.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline