Lihat ke Halaman Asli

Rahadi Wangsapermana

Pemerhati Perang Asimetris

Silsilah Bisa Diolah, Kepemimpinan Harus Dibuktikan

Diperbarui: 4 Juli 2025   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Freepik

 Di sudut-sudut kampanye pemilihan kepala daerah dan legislatif, kita kerap mendenTrah dan Kekuasaan: Politik Darah atau Gagasangar kalimat-kalimat seperti: "Saya cucu pahlawan nasional...", "Saya dari keluarga ningrat...", atau yang lebih halus, "Saya dari trah pendiri kota ini...". Klaim tentang darah biru, garis keturunan bangsawan, atau kedekatan kekerabatan dengan tokoh besar kerap kali dijadikan pelicin jalan menuju kekuasaan.

Namun, pertanyaan yang perlu diajukan secara terang dan berani adalah: benarkah trah keturunan relevan dalam menentukan kapasitas kepemimpinan?

Politik Silsilah: Budaya atau Strategi Elektoral?

Fenomena ini bukan tanpa akar budaya. Dalam masyarakat agraris dan feodal seperti Indonesia, terutama di Jawa dan sebagian Sumatra, simbol status seperti gelar bangsawan, keturunan raja, atau trah kyai besar, dianggap punya nilai legitimasi sosial tinggi. Budaya patronase dan feodalisme kultural memperkuat persepsi bahwa "darah baik" akan menghasilkan kepemimpinan yang baik pula.

Namun sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. Ida Ruwaida, menyatakan dalam wawancara di Kompas (2022), bahwa orientasi semacam ini rawan dimanfaatkan untuk membungkus minimnya kapasitas personal. "Trah itu bisa jadi penanda simbolik, tapi tidak bisa dijadikan alat ukur moral, etika, apalagi kemampuan teknokratis," ujarnya.

Senada dengan itu, dalam bukunya "The Logic of Patronage Politics in Indonesia" (2018), profesor politik dari KITLV, Ward Berenschot, menjelaskan bahwa simbol-simbol tradisional seperti keturunan elite lokal masih digunakan untuk menciptakan kepercayaan politik instan. Ini adalah bentuk shortcut to legitimacy --- jalan pintas membangun kredibilitas tanpa perlu kerja panjang.

Kepemimpinan Bukan Warisan Genetik

Pemimpin yang andal tidak diwariskan secara genetis. Leadership adalah soal karakter, kapasitas berpikir strategis, kepekaan sosial, dan keberanian mengambil keputusan sulit. James MacGregor Burns, dalam karyanya Leadership (1978), membedakan dua tipe kepemimpinan: transactional dan transformational. Yang pertama hanya mempertahankan sistem. Yang kedua menciptakan perubahan melalui visi dan nilai. Kategori ini tidak mengenal darah, hanya mengakui integritas dan kapasitas.

Faktanya, beberapa tokoh bangsa besar Indonesia lahir bukan dari trah elite. Bung Hatta adalah anak pedagang, KH Ahmad Dahlan dari keluarga biasa, Buya Hamka tak lahir dari istana. Mereka besar karena ide, bukan gelar. Dalam demokrasi sehat, yang dinilai adalah kompetensi dan rekam jejak, bukan silsilah.

Justru dalam era modern, pembelian gelar kebangsawanan menjadi komoditas terselubung. Jurnalis investigasi Tempo pernah membongkar praktik jual-beli gelar "Sri", "Raden", bahkan "Sultan" demi pencitraan politik. Tak sedikit calon kepala daerah mendadak menjadi "trahturunan" yang tidak dikenal sebelumnya oleh sejarah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline