Lihat ke Halaman Asli

Tino Rahardian

TERVERIFIKASI

Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Pancasila dari Kolong Jembatan: Reaktualisasi Filsafat Pancasila bagi Kaum Papa

Diperbarui: 1 Juni 2025   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kolong Jembatan Pakin di Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024).(Foto: KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU)

Artikel sederhana ini berupaya menarik kembali filsafat Pancasila dari menara gading teks konstitusional ke realitas kehidupan kaum papa dan termarjinalkan. Sebuah upaya yang sangat jauh dari kata sempurna.

Dengan memadukan pendekatan hermeneutik kritis dan teori keadilan distributif, tulisan ini menelaah bagaimana sila-sila Pancasila bukan hanya sebagai nilai simbolik negara, tetapi sebagai etika praksis yang mendesak untuk diterjemahkan dalam kebijakan publik dan kesadaran sosial.

Saya dan sebagian besar Kompasianer tentu masih meyakini, bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat tidak hanya menjadi landasan ideologis, tetapi juga kerangka epistemologis untuk membongkar ketimpangan struktural.

Artikel ini mencoba untuk memaknai Pancasila yang lebih berpihak dan membumi, dengan memberi ruang epistemik bagi suara-suara yang selama ini tak terdengar, seiring dengan perjalanan 80 tahun bangsa.

Pancasila dan Krisis Representasi Filosofis

Sejak awal kelahirannya, Pancasila dimaksudkan sebagai dasar filosofis negara (philosophische grondslag), oleh karenanya mengandung prinsip eksistensi kolektif yang menolak reduksi manusia sebagai entitas individual semata.

Eksistensi kolektif tersebut tercermin dari hasil perasan panca sila menjadi eka sila, yaitu gotong royong. Bekerja secara kolektif untuk mencapai tujuan bersama.

"Semua buat semua! jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan 'gotong-royong.' Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong" (Ir. Sukarno, 1964).

Namun dalam praktiknya, Pancasila sering direduksi menjadi slogan administratif belaka, jauh dari kehidupan konkret masyarakat miskin kota, pekerja informal, penghuni kolong jembatan, hingga masyarakat adat yang terpinggirkan dalam pembangunan.

Apa makna "Kemanusiaan yang adil dan beradab" jika warga miskin digusur demi proyek strategis nasional tanpa mekanisme ganti rugi yang memadai? Di titik inilah Pancasila menghadapi krisis representasi filosofis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline