Lihat ke Halaman Asli

Rachmat PY

TERVERIFIKASI

Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

Menyemai ‘Rumput Hijau’ di Tanah Kering Pinggiran Negeri

Diperbarui: 24 Juli 2016   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ki-ka= drg Usman Sumantri, Menteri Kesehatan, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M (K) dan Kang Maman. (Foto GANENDRA)

Persoalan kesehatan adalah krusial. Apalagi pelayanan kesehatan di daerah-daerah tanah air, banyak yang  belum memadai. Ada kesenjangan dan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan dibanding di kota-kota. Di perkotaan akses layanan kesehatan luar biasa. Infastruktur berbeda. Intervensinya tak sama. Banyak di pinggiran, pelosok, perbatasan dan kepulauan yang ‘kosong’ layanan kesehatan. Minim. Faktanya memang pemerataan layanan kesehatan belum merata di negeri yang luas ini.

Itu melatarbelakangi Pemerintah yang berusaha ‘hadir’.  Melalui Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), focus kebijakan pemerintah periode 2015 – 2019 adalah penguatan Pelayanan Kesehatan (Yankes) Primer. Penguatan yankes primer itu mencakup tiga hal, yakni fisik (pembenahan infrastruktur), sarana (pembenahan fasilitas), dan Sumber Daya Manusia (penguatan tenaga kesehatan).  

Kebijakan bidang kesehatan itu diterjemahkan melalui para ‘penjaga gawang’ Tim  Nusantara Sehat (NS) yang terdiri dari pelayan kesehatan (nakes) yakni dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian, negara berupaya hadir membangun kesehatan dari pinggiran negeri.

Tim NS selama 2 tahun, mereka melawan ketidaknyamanan, bertahan dalam minimnya fasilitas dan infrastruktur serta menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan bagi warga setanah air di pinggiran, pelosok, perbatasan dan kepulauan. Bagaikan menyemai tanah-tanah kering di pinggiran nusantara, mereka berupaya menanam rumput-rumput hijau yang sehat. Keadilan atas hak mengenyam kesehatan seperti saudara-saudara mereka di perkotaan yang beruntung mendapat layanan kesehatan lebih memadai.

*

Ada fenomena menarik terkait tim NS yang bertugas. Tenaga kesehatan Nusantara Sehat  ada 9 orang, paling sedikit adalah tenaga dokter. Itu pula yang terjadi di tim NS Pulau Belakang Padang, Batam Kepri yang kukunjungi bersama Kemenkes RI, April 2016 silam. Yaaa, nakes dokternya tak ada dan hanya 5 tenaga nakes bertempat di sana. Tentu saja jumlah tim disesuaikan dengan kondisi daerah. Namun dokter pastinya diperlukan untuk daerah terpencil, sebagai target dari NS.

Pertanyaan bernada keprihatinan, dilontarkan Kang Maman Suherman, Penulis tenar yang menjadi moderator acara Diskusi Terbuka Nusantara Sehat yang digelar Kemenkes RI di Gedung Adhyatama, Kemenkes RI, Selasa (19/7/2016). “Mengapa tenaga dokter minim yang bergabung di Nusantara Sehat?”

Maman Suherman, moderator acara. (Foto GANENDRA)

Pertanyaan yang dijawab narasumber, drg. Usman Sumantri, M.Sc, selaku Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, bahwa tenaga dokter yang melamar sedikit. Tak beruntungnya, dari yang melamar sedikit, yang lulus sedikit. Maklum saja sistem rekrutmen NS ketat. Ada psikologi tes dan lain-lain.

“Butuh dokter tapi mesti disharing ketat. Kita ingin dokter yang di lapangan jangan sampai sakit jiwa, tertekan,” jawab drg. Usman di hadapan peserta dari praktisi kesehatan, dosen, media, blogger, pada acara diskusi yang membahas tema, “Karir Dokter dan Dokter Gigi di Era Jaminan Kesehatan Nasional.”

Dijelaskan drg Usman bahwa, faktanya memang kebanyakan dokter menumpuk di perkotaan. Rasio dokter di Indonesia 1: 2200. Logikanya ini cukup. Namun ada masalah soal distribusi dokter. Semisal di Jakarta ada 157/ 100 ribu di Jakarta, artinya 1 orang dokter melayani 600an orang. Kalau di tempat lain, tak mungkin sama dengan di ibukota. Tempat lain  1 dokter bisa melayani puluhan ribu pasien. Lalu apa yang membuat dokter menumpuk 157/ 100 ribu di Jakarta?

“Karena gulanya ada di kota besar. Ada gula ada semut,” kata dokter peraih gelar S2 dari Universitas Indonesia ini. Maksudnya adalah salari dokter di daerah terlalu kecil. Apalagi dokter jaman sekarang pilihan banyak. Mau jadi PNS, pegawai Rumah Sakit swasta dan lain-lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline