Lihat ke Halaman Asli

Urgensi Parliamentary Threshold dalam Menciptakan Stabilitas Politik Melalui Parlemen

Diperbarui: 10 Maret 2024   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat keputusan yang cukup mengundang perhatian masyarakat. Masih terkait pemilu, kali ini keputusan yang diambil adalah mengenai pemilu legislatif, di mana MK memutuskan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah konstitusional pada Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk Pemilu DPR 2029 sepanjang dilakukan perubahan terhadap besaran ambang batas parlemen yang berlaku. Namun, hal tersebut bukan berarti parliamentary threshold dihapuskan, melainkan harus diubah besarannya sebelum Pemilu 2029.

Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen adalah jumlah suara nasional yang harus diraih oleh suatu partai dalam pemilu (berdasarkan undang-undang yang berlaku) supaya partai tersebut dapat menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Sebagai contoh, ambang batas yang ditetapkan saat ini sebesar 4%, artinya suatu partai harus meraih suara nasional minimal 4% supaya calon legislator (caleg) partai tersebut yang menjadi pemenang di suatu dapil (daerah pemilihan) dapat mengambil kursi dari dapil tersebut di DPR.

Keputusan MK yang mengharuskan besaran ambang batas diubah tersebut menuai berbagai reaksi dari berbagai partai politik, misalnya Partai Gelora yang gagal lolos ke Senayan ingin parliamentary threshold justru dihapuskan saja daripada diubah, lalu ada PPP yang ingin parliamentary threshold diturunkan menjadi 2,5%, sedangkan ada partai lain misalnya Partai Nasdem malah ingin parliamentary threshold dinaikkan menjadi 7%. Lantas, apa sebenarnya pengaruh besaran ambang batas tersebut bagi kehidupan politik Negara Indonesia?

Besaran ambang batas dari waktu ke waktu

Sistem parliamentary threshold di Indonesia pertama kali diterapkan pada pemilu 2009 di mana pada saat itu ambang batas yang diberlakukan adalah sebesar 2,5% suara nasional. Dari 38 partai politik yang mengikuti pemilu, hanya terdapat 9 partai yang memenuhi ambang batas tersebut dan sisanya terisisih.

Kemudian pada tahun 2014 terjadi perubahan ambang batas parlemen yang kini menjadi sebesar 3,5% suara nasional. Partai politik yang mendaftar pemilu ada 46 partai, tetapi yang lolos verifikasi hanya sebanyak 12 partai. Lalu, dari 12 partai tersebut, hanya 2 yang tersisih dan 10 partai lainnya sukses melenggang ke DPR.

Selanjutnya, pada tahun 2019 kembali terjadi perubahan besaran ambang batas parlemen. Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ambang batas parlemen adalah sebesar 4% suara nasional. Hasilnya, dari 16 partai politik yang mengikuti kontestasi pemilu, hanya 9 partai yang lolos ke sanayan sedangkan 7 lainnya tersisih.

Dan pada pemilu yang terbaru, yaitu pemilu 2024 tidak ada perubahan mengenai besaran ambang batas, sehingga ambang batas parlemen tetap sebesar 4% suara nasional dan berdasarkan perkiraan sementara (red: saat artikel ini ditulis belum ada sidang penetapan pemenang pemilu oleh KPU) ada delapan partai politik yang berhasil mengantarkan calonnya ke DPR, yaitu PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, dan PAN.

Dapat dilihat bahwa parliamentary threshold menciptakan tejadinya seleksi partai politik di mana banyak partai yang dapat mengikuti pemiilihan umum, tetapi hanya sebagian yang dapat menduduki kursi DPR. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline