Lihat ke Halaman Asli

Pringadi Abdi Surya

TERVERIFIKASI

Pejalan kreatif

Disrupsi Ekonomi dan Kebiasaan Belanjaku

Diperbarui: 15 Mei 2019   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Akurat.co

Internet of things. Great shifting. Disrupsi ekonomi. Kira-kira itulah beberapa frase yang sering kita dengar manakala membincangkan Revolusi Industri 4.0.

Tokoh yang secara khusus menulis buku tentang itu adalah Rhenald Khasali. Bung Rhenald menjelaskan kurang-lebih bahwa great shifting itu bukan terbatas pada perubahan dari offline ke online, tetapi juga cara-cara baru dan perubahan pola interaksi manusia. Penyederhanaan great shifting ini pula yang dituduh sebagai penyebab melemahnya bisnis ritel. Padahal, meski potensinya sedemikian besar, belanja e-commerce di Indonesia masih di bawah 4% dari total bisnis ritel.

Potensi itu terlihat dari tren transaksi yang selalu naik dari tahun ke tahun. McKinsey bahkan  memproyeksikan nilai pasar e-commerce Indonesia akan mencapai US$ 65 miliar atau sekitar Rp 910 triliun pada 2022. Angka itu naik delapan kali lipat dibanding tahun lalu yang nilainya US$8 miliar atau Rp 112 triliun. Penetrasi pengguna smartphone, peningkatan daya beli masyarakat, serta adopsi teknologi masyarakat yang relatif cepat menjadi faktor penyebabnya tumbuhnya ekonomi digital di Indonesia.

Peningkatan transaksi Harbolnas | dok. Databoks

Adopsi Teknologi Masyarakat dan Kebiasaan Belanjaku

Aku pribadi tak pernah mengira bahwa lebih dari 50% transaksi yang kulakukan tidak lagi di mal, melainkan melalui ponsel. Dalam kehidupan sehari-hari, aku hanya pergi ke mal bila hendak mengajak anak-anak ke tempat bermain anak sekaligus makan bersama. Selebihnya, aku membeli baju, sepatu, ponsel, kamera, semuanya lewat e-commerce.

Mau tak mau manusia berubah dan beradaptasi terhadap kemajuan teknologi.

Puasa-puasa begini misalnya, aku tak perlu pusing memikirkan keperluan untuk lebaran. Belanja buat lebaran sambil santai kucari lewat ponsel. Sebelum menulis ini, aku lagi cari sepatu. Sayang, belum ketemu yang pas. Nanti malam bisa cari-cari lagi.

Tak perlu berhadapan dengan kemacetan lalu lintas, udara panas, dan sebagainya.

Cara-cara yang berubah itu ternyata mengubah juga kebiasaan masyarakat dalam cara menggunakan kas. Great shifting lambat laun menggerakkan masyarakat menuju cashless society.

Jujur kukatakan, jumlah uang tunai di dompetku saat ini tidak sampai Rp50.000 lho. Sisanya ada di Link, di Sakuku, di Gopay, di kartu debit. Belanja kebutuhan sehari-hari dan buat lebaran dilakukan dengan mudah lewat ponsel (selama ada saldonya).

BCA dalam Cashless Society

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline