Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Menangkal Berita Hoaks dan Ujaran Kebencian dengan Pendidikan Kewarganegaraan Digital

Diperbarui: 17 Juli 2018   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (bacsense.com)

Semenjak internet bisa diakses dengan begitu mudahnya oleh setiap orang, kita seperti dihadapkan pada sebilah pisau. Di satu sisi internet begitu membantu kita dalam beraktivitas sehari-hari, terutama dalam bidang komunikasi. Di sisi lain, internet juga menyimpan sisi gelap yang membahayakan, tak hanya bagi kehidupan pribadi namun juga bagi kehidupan sosial setiap orang.

Derasnya arus informasi yang mengalir melalui internet membuat kita seringkali sulit membedakan, mana informasi yang berguna, dan yang mana informasi yang harus masuk tong sampah. Ujaran kebencian, berita-berita palsu/hoax masuk silih berganti, baik itu melalui media sosial namun tak jarang pula media resmi yang kredibel pun sering tersusupi.

Jika dipikirkan lebih jauh, tugas untuk menangkal konten-konten negatif yang terdapat internet masuk pada ranah Kementrian Informasi dan Komunikasi. Mereka lah yang punya akses dan sumber daya untuk menciptakan "Ketertiban" di dunia maya. Namun karena keberadaan konten negatif itu sekarang sudah menyebar begitu massif, diperlukan kerjasama antara semua pihak. Kita tentu tak bisa menyerahkan sepenuhnya tugas tersebut pada satu lembaga saja.

Kementerian Agama bisa menjadi salah satu pihak yang ikut dilibatkan dalam penangkalan konten negatif dari internet. Mengapa? Karena konten semacam ujaran kebencian dan berita hoax/palsu bisa mengancam kerukunan antar umat beragama di negara kita. Lihat saja akhir-akhir ini, banyak berita tentang warga yang diadukan ke aparat keamanan karena membuat atau membagikan berbagai macam berita hoax dan ujaran kebencian yang ditujukan pada salah satu Suku, Ras dan Agama.

Lalu, apa yang bisa dilakukan Kementrian Agama? Seandainya saya jadi Menteri Agama, ada dua kebijakan yang akan saya kedepankan.

Pertama, saya akan menggandeng Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan Pendidikan Kewarganegaraan Digital (Digital Citizenship) sebagai salah satu mata pelajaran untuk sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Kita mungkin sudah mengenal istilah Literasi Digital, namun mungkin masih banyak yang asing dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan Digital. Ini adalah salah satu dari tiga tingkat Kecerdasan Digital (Digital Quotien).

Yang dimaksud Kewarganegaraan Digital adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi digital dan media dengan cara yang aman, bertanggung jawab dan efektif. Oleh DQ Institute, yakni lembaga think tank internasional yang menelurkan pemikiran kecerdasan digital ini, ada 8 keahlian tingkat pertama yang harus dipelajari sejak dini.

Digital Citizenship (dqinstitute.org)

  • Identitas warga digital: sebuah kemampuan untuk membangun dan mengelola identitas yang sehat secara online dan offline dengan penuh tanggung jawab.
  • Pengelolaan waktu layar: kemampuan untuk mengelola waktu layar, multitasking, dan keterlibatan seseorang dalam game online dan media sosial dengan kontrol diri
  • Penindasan maya: kemampuan mendeteksi situasi penindasan maya dan menanganinya dengan bijak.
  • Manajemen cybersecurity/keamanan digital: kemampuan untuk melindungi data seseorang dengan membuat kata sandi yang kuat dan mengelola berbagai serangan cyber.
  • Pengelolaan privasi: kemampuan untuk menangani dengan bijaksana semua informasi pribadi yang dibagikan secara online untuk melindungi privasi diri sendiri dan orang lain.
  • Berpikir kritis: kemampuan untuk membedakan antara informasi yang benar dan yang salah, konten yang baik dan berbahaya, dan kontak online yang dapat dipercaya dan dipertanyakan
  • Jejak kaki digital: Kemampuan untuk memahami sifat jejak kaki digital dan konsekuensi kehidupan nyata mereka dan mengelolanya secara bertanggung jawab
  • Empati digital: kemampuan untuk menunjukkan empati terhadap kebutuhan dan perasaan diri sendiri dan orang lain secara online.

Dari 8 keahlian tingkat pertama diatas, setidaknya ada dua poin dasar yang bisa menjadi pondasi untuk menangkal ujaran kebencian dan berita hoax, yakni keahlian berpikir kritis dan empati digital.

Pendidikan kewarganegaraan digital ini akan diadakan sedini mungkin, idealnya ketika seseorang mulai aktif menggunakan game, media sosial, atau perangkat digital apa pun.  Mengapa? Karena anak-anak hingga remaja lebih banyak menghabiskan waktu bersama internet daripada rentang usia lainnya. Data survey dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menyatakan penetrasi pengguna internet di Indonesia, 75,5% diantaranya adalah mereka yang berusia 10-24 tahun.

sumber: teknopreneur.com

Mengingat begitu berpengaruhnya keberadaan media digital dan penggunaan perangkat digital dalam aktivitas sehari-hari, Pendidikan Kewarganegaraan Digital akan dijadikan prioritas. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline