Lihat ke Halaman Asli

Pinkan Maliha Yasmin

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Penipuan Berkedok Donasi

Diperbarui: 29 Desember 2023   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa tahun terakhir tengah marak penjualan buku voucher atau makanan dan minuman berharga tinggi mengatasnamakan donasi. Biasanya mereka mengaku bahwa donasi tersebut akan disumbangkan ke panti asuhan, yayasan peduli kanker, ataupun yayasan autis. Penjualan penipuan tersebut biasanya terjadi di tempat-tempat umum seperti stasiun, mall, taman, terminal, bandara, atau tempat lainnya yang terbuka untuk siapapun.

Mereka seringkali memulai aksinya dengan kalimat "Permisi kak, boleh minta waktunya sebentar? Sebentar aja, satu menit." Masyarakat yang memiliki hati yang dermawan tentu akan merasa iba dan terbujuk rayuan mautnya, tanpa mengetahui tujuan utama pelaku yang justru ingin memanfaatkan kebaikan target korbannya.

Jika ditilik berdasarkan penelitiannya, pada jurnal yang ditulis oleh Tantimin dan Jiko Sastrawanto Ongko pada bulan September 2021 lalu, menurut data yang diperoleh dari Charities Aid Foundation perihal World Giving Index di tahun 2018 indonesia berada pada peringkat pertama sebagai negara yang paling sering memberikan donasi.

Menurut Moch. Anwar, S.H. dalam bukunya Hukum Pidana Bagian Khusus memberikan pendapatnya mengenai penipuan yakni "membujuk orang lain dengan tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong, nama palsu, keadaan palsu agar memberikan sesuatu, serta unsur-unsur dari tindak pidana penipuan yang dibagi menjadi dua yaitu unsur objektif dan subjektif."

Pada kalimat ini, maksud dari objektif sendiri adalah kelompok atau organisasi yang melakukan gerakan yang menghasilkan uang dengan cara menggunakan nama palsu atau kebohongan-kebohongan lainnya. Sedangkan maksud subjektifnya sendiri adalah perbuatannya dilakukan untuk kepentingan sendiri dan merugikan orang lain, serta melakukan pelanggaran secara hukum. 

Masalahnya, donasi ini selalu ada minimal dananya, dan bahkan dana nya ini termasuk mahal. Untuk seharga kopi dan buku voucher, mereka mampu membandrol harga mulai di Rp.50.000 hingga Rp.200.000. Harga yang cukup fantastis mengingat mereka bahkan beberapa kali melancarkan aksinya di kalangan pendidikan, seperti di universitas.

"Masyarakat diimbau untuk berhati-hati agar tidak terperdaya oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan Yayasan Kanker Indonesia untuk penggalangan dana bagi kepentingan sendiri," ujar Aru Wisaksono Sudoyo selaku Ketua Yayasan Kanker Indonesia pada tahun 2018 lalu di berita Bisnis.com.

Untuk itu, setelah dilakukan pencarian, ditemukan juga aksi penipuan ini di beberapa tempat lainnya. Salah satunya berada di Gramedia Kota Bandung. Pada pencarian itu, ditemukan bahwa pelaku yang berada di Gramedia merupakan dua orang wanita dan menjual buku voucher dengan mengatasnamakan yayasan autisme. Namun tidak ditemukan nomor telepon di buku voucher tersebut. Tak hanya itu, saat diminta nomor telepon pun wanita tersebut enggan untuk memberitahukannya. Hal tersebut cukup menyentil keraguan di benak kami, "Lalu bagaimana kami memverifikasinya?", "Jika kami ingin berdonasi di lain waktu dan perlu berkontak, apakah tidak bisa?" Namun dua orang tersebut tetap enggan untuk memberikan nomor telepon sebagai validasi dan verifikasi atas aksi sosial yang disampaikannya. Saat itu, mereka membandrol harga Rp.150.000 per buku vouchernya. Harga yang cukup mahal bukan?

Jika berdasarkan kacamata hukum, penipuan donasi ini telah dikategorikan dalam pelanggaran Pasal 378 KUHP yang berbunyi,"Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun."

Permasalahan tak berhenti disana, salah satu alasan mengapa korban merasa ditipu dan rugi adalah karena banyak korban yang membeli buku voucher, namun ternyata voucher tersebut tidak dapat digunakan dan tidak berfungsi dengan baik. Selain memberikan harga yang fantastis, penipu ini tidak tanggung-tanggung untuk memberikan voucher palsu yang tidak bisa digunakan sama sekali.

Berdasarkan berita yang diunggah Viva.com pada 2016 lalu, ditemukan kenyataan yang cukup mengagetkan, karena ternyata donasi yang kita beri, tidak seluruhnya diserahkan kepada yayasan yang dimaksud. Faktanya, meskipun kita membeli produknya dengan harga yang fantastis, namun yang diberikan kepada yayasan hanyalah Rp.10.000 saja. Biasanya keterangan tersebut terdapat di buku vouchernya, namun dengan tulisan yang amat sangat kecil, sehingga kemungkinan besar korbannya tidak menyadarinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline