Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

[Event Cerita Mini] Pensil Warna

Diperbarui: 7 Juli 2019   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar dari https://emptyeasel.com/

Ketika aku kecil, aku pernah memiliki pengalaman ajaib dengan pensil warna. Sebelumnya aku beritahukan dulu kesenanganku. Aku gemar mewarnai dengan pensil warna. Aku sangat senang memandang warna merah, hijau, biru dan warna-warna lainnya berkumpul bersama membentuk aneka corak dan pola. Jemari mungilku sangat fasih menorehkan warna-warni dari pensil warnaku ke atas kertas buku gambar. Malah saat buku gambar tidak bisa lagi menampung kesukaanku itu, torehan warna-warni pun berpindah ke lantai, kayu tempat tidur, dinding ruang tamu bahkan kain keset.

Saat itu aku berusia lima atau enam, tapi aku masih ingat persis dinding ruang tamu rumah kami setinggi jangkauan tanganku selalu penuh dengan aneka gambar yang dihasilkan pensil warnaku.

Mama sudah sering marah akibat ulah tersebut. Tentu aku tidak mengerti saat itu. Aku hanya merasa bersalah setiap kali Mama mendapatiku menorehkan satu dua garis, membentuk rumah panggung atau orang-orangan sawah, lalu terdengarlah omelan khasnya, sesekali diikuti dengan cubitan pada tanganku. Tapi di lain waktu saat rumah sedang sepi, mungkin saat itu Mama sedang asyik di dapur, mataku kembali berbinar-binar gembira jika di tanganku ada pensil warna dan dihadapanku ada dinding putih bersih.

Suatu hari Mama memarahiku seperti biasa. Ah, tidak seperti biasa. Kali ini Mama marah besar. Omelannya diikuti oleh pukulan rotan bertubi-tubi pada tanganku. Tangan kecilku memerah, aku kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Kejadian itu terjadi setelah aku menggambar rumah setinggi perutku di dinding ruang tamu. Saat itu Papa baru saja mengecat ulang dinding ruang tamu dengan warna kesukaanku, putih. Putih adalah kesenangan, karena putih berarti akan ada banyak warna lain lagi yang bisa ditorehkan di atasnya.

Mama menyuruhku berjanji untuk tidak berbuat ulah lagi.

"Janji tidak mencoret-coret dinding ruang tamu?" tanya Mama dengan suara tinggi.

Aku mengangguk sambil sesenggukan.

"Janji?!"

"Janji, Ma."

"Kalau masih coret-coret tangannya Mama pukul lebih keras lagi?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline