Lihat ke Halaman Asli

Peny Wahyuni Indrastuti

Ibu Rumah Tangga yang berjuang melawan lupa

Penantian

Diperbarui: 4 Januari 2018   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bangku batu membeku sehabis hujan. Selembar plastik kresek begitu saja menjadi alas. Masih terasa dingin, tapi tak lagi membasah.

Ia yang  gelisah, membiarkan kedua kakinya kadang bersila, kadang berayun, dan sesekali  menggaruk tanah basah dengan sandal karetnya.

Matanya mencuri-curi pandang pintu pagar. Berharap pintu pagar itu berderit, memunculkan sosok yang kini ada di dalam kepalanya.

"Kenapa di sini? Lihat, bibirmu membiru."

Denyar nadinya mengencang.

"Ah, Dia...," gumamnya.

Direngkuhnya sosok itu, membuat tubuhnya hilang dalam satu pelukan.

"Jangan pergi lagi, jangan pergi lagi,"  desahnya menghangati bibirnya yang sudah kelu.

Kemudian ia tak berkata apa-apa lagi, membiarkan hangat pelukan menjalari seluruh tubuhnya.

Hatinya berkisah. Sepanjang menanti, dalil inilah yang terus menggema, " yang Maha, memalingkan hati makhluk untuk pergi atau kembali. Semua bukannya tanpa maksud."

Sesaat ia melayang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline