Lihat ke Halaman Asli

Dodi Mawardi

TERVERIFIKASI

Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Ini Saatnya Gugat Balik Televisi Swasta

Diperbarui: 29 Agustus 2020   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olah berbagai sumber

Khalayak netizen mendadak ramai menyebut nama stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, RCTI di berbagai saluran media sosial. Stasiun televisi milik Hari Tanoe tersebut menjadi bahasan karena sedang menggugat Undang-undang Penyiaran ke Mahmakah Konstitusi. 

Isi gugatan adalah keberatan mereka terhadap maraknya kegiatan penyiaran melalui media sosial dan internet, yang begitu bebas sehingga mengganggu kelangsungan hidup televisi swasta, termasuk RCTI (dan tentu saja grupnya, MNC, I-News dan Global TV).

Menurut RCTI seharusnya pemerintah mengatur kegiatan penyiaran melalui media sosial dan internet tersebut, seperti juga aturan yang melekat pada stasiun televisi swasta. Wadahnya adalah Undang-undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002. Selain alasan ketidakadilan perlakuan, RCTI juga menegaskan tujuan gugatan itu untuk menjaga moral bangsa.

Tentu saja sebagian besar netizen merespon negatif aksi korporasi RCTI tersebut. Mereka menuding RCTI dan grupnya sedang kelimpungan karena mulai disaingi oleh medsos, internet, dan terutama Youtube. Warganet menuduh RCTI sedang berusaha mematikan atau mengebiri media sosial. Media yang sekarang sedang menjadi kesayangan warganet.

Mari kita telisik satu persatu.
Apakah gugatan RCITI sudah tepat?
Apakah tujuan keadilan sudah pas?
Apakah alasan demi moral bangsa juga benar?

Hukum Alam di Semua Sektor
Pada awal tahun 1930-an, televisi mulai hadir di dunia ini melalui siaran hitam putih di Amerika Serikat. Kehadiran televisi waktu itu membuat media penyiaran yang lebih dulu ada yaitu stasiun radio kelimpungan. 

Boleh dikatakan, "Televisi nyaris membunuh radio." Namun demikian faktanya tidak demikian. Sampai saat ini radio masih tetap eksis, meskipun jumlah audiensnya tak pernah mampu mengalahkan televisi.

Hal tersebut saya sampaikan sebagai gambaran bahwa setiap saat dunia berubah. Perubahan itu adalah hukum alam, sunnatullah. Tak ada satu pun pihak yang mampu menolak perubahan. Menolak atau mati, begitu istilah yang tepat untuk menggambarkan dampak penolakan berubah, seperti yang terjadi pada hewan masa lalu dinosaurus. Jadilah cicak, yang meski kecil dan lemah tapi tetap eksis sampai sekarang karena ramah terhadap perubahan.

Di berbagai bidang perubahan terjadi yang menyebabkan begitu banyak korban. Hadirnya internet pada akhir tahun 1990-an, membunuh banyak hal, selain melahirkan banyak hal. Teknologi digital membunuh ratusan perusahaan besar, meski sebaliknya juga melahirkan perusahaan besar baru. Kodak dan Fujifilm sengsara berkepanjangan akibat teknologi foto digital. Hadirnya teknologi seluler, juga membunuh banyak hal. Begitulah terus menerus silih berganti perubahan terjadi.

Dalam dua dekade terakhir, perubahan teknologi begitu cepat terjadi. Internet menjadi biang utama perubahan, menghadirkan beragam teknologi di dalamnya. Gojek lahir karena hal tersebut. Bluebird dan perusahaan sejenis di seluruh dunia kelimpungan karenanya. Siapa yang tak mau ikut berubah atau malah melawan, akan merasakan sendiri akibatnya. Bluebird cerdas. Mereka ikut serta dalam perubahan dan berkolaborasi dengannya.

Media massa di berbagai belahan dunia pun terkena dampak hebat dari media sosial, salah satu bentuk teknologi baru dari internet. Di banyak negara, media massa konvensional mati, atau mati suri, atau terpaksa mengikuti perubahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline