Lihat ke Halaman Asli

Pena Kusuma

Mahasiswa Fakultas Hukum

Makna "Berdiri di Pundak Raksasa" dari Newton untuk Era Modern

Diperbarui: 20 Oktober 2025   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Frasa "Berdiri di Atas Bahu Raksasa" menggambarkan kemajuan ilmu berkat penemuan terdahulu. (Sumber: eramusdarwin.org) 

Jakarta, 25 Mei 2024 - Pernyataan “Kita berdiri di pundak para raksasa” mungkin terdengar sederhana, namun di baliknya tersimpan sejarah panjang dan makna mendalam tentang bagaimana peradaban manusia berkembang. Frasa yang populer berkat ilmuwan legendaris Isaac Newton ini bukan sekadar metafora puitis, melainkan sebuah prinsip fundamental yang menggerakkan kemajuan ilmu pengetahuan hingga hari ini.

Dari Abad Pertengahan hingga Surat Newton

Asal-usul frasa ini dapat ditelusuri kembali ke Eropa Abad Pertengahan. Filsuf Prancis, Bernard dari Chartres, pada abad ke-12 pertama kali melontarkan perumpamaan dalam bahasa Latin: “Nanos Gigantum Humeris Insidentes” yang artinya “Kurcaci yang duduk di atas bahu raksasa”. Gagasan ini kemudian disebarluaskan oleh penulis seperti John of Salisbury.

Namun, frasa ini melambung ke panggung dunia berkat Sir Isaac Newton. Pada tahun 1675, dalam suratnya kepada sesama ilmuwan Robert Hooke, Newton menulis dengan rendah hati, “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of Giants.” Pengakuan ini bukan hanya formalitas, melainkan pengakuan tulus bahwa penemuan spektakulernya tentang gravitasi dan kalkulus mustahil tercapai tanpa dasar yang diletakkan oleh “raksasa-raksasa” pemikir sebelumnya, seperti Galileo Galilei dan Johannes Kepler. Filsuf John Locke kemudian memperluas maknanya, menyebut bahwa buku-buku adalah “pundak raksasa” yang dapat kita gunakan untuk melihat lebih jauh.

Kutipan Isaac Newton tentang makna kemajuan berkat karya pendahulu. (Sumber: Visi Politika Indonesia, 2020) 

Makna Kekal di Era Modern

Dalam konteks kekinian, prinsip “berdiri di pundak raksasa” lebih relevan dari sebelumnya. Prinsip ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bersifat kumulatif. Setiap inovasi, aplikasi, dan terobosan teknologi yang kita nikmati hari ini bukanlah hasil kerja dari satu orang jenius yang terisolasi, melainkan puncak dari gunung es pengetahuan yang telah dibangun, dikritik, dan disempurnakan oleh ribuan pemikir selama berabad-abad.

Prinsip ini juga menjadi fondasi etika akademik. Dalam dunia penelitian, menghargai karya pendahulu dengan menyitasi sumbernya adalah sebuah keharusan. Tindakan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan, sekaligus benteng terhadap plagiarisme. Pada akhirnya, metafora ini mengajarkan kerendahan hati intelektual. Ia mengingatkan kita bahwa sehebat apa pun pencapaian individu, kita tetap berhutang budi pada warisan pengetahuan kolektif umat manusia. Dengan menyadari hal ini, kolaborasi dan saling menghormati dalam komunitas ilmiah dan masyarakat luas dapat terus dipupuk untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline