Lihat ke Halaman Asli

Review Novel Ma Yan, Sanie B. Kuncoro

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, novel kisah nyata ini bukan saya dapat dari membeli. Bukan. Belakangan ini ada beberapa alasan yang memaksa saya untuk tidak berbelanja buku untuk sementara waktu. Novel ini adalah hadiah yang di dapat oleh seorang teman dari sebuah acara talk show di salah satu tv swasta. Tapi olehnya novel ini malah diberikan lagi pada saya untuk hadiah. Jadi, kalau dalam istilah jual beli motor , saya adalah "tangan kedua".

Novel Ma Yan, dengan tokoh utamanya adalah seorang perempuan kecil bernama Ma Yan. Adalah sebuah novel yang bercerita tentang kehidupan dari keluarga petani yang miskin di negeri Cina. Dalam tradisinya, anak perempuan memang tak diharuskan untuk menikmati pendidikan sekolah, tapi Ma Yan bersikeras ingin tetap bersekolah dengan bagaimana pun caranya. Daerah tempat tinggalnya sangat tertinggal dalam hal pembangunan. Maka, untuk bersekolah, Ma Yan dan kedua adiknya harus menempuh perjalanan berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki.

Ada pilihan lain selain jalan kaki, yaitu, dengan menumpang traktor. Tapi, biaya sewa traktor adalah setengah dari biaya hidup sebulan untuk keluarga petani miskin tersebut. Dan, karena dirasa pilihan jalan kaki terlalu berbahaya dan menyiksa untuk Ma Yan dan adik-adiknya, maka mereka diinapkan oleh orang tuanya di asrama sekolah. Tentunya, biaya sewa kamar dan biaya makan tentu tak gratis, ada harga yang harus dibayar.

Ma Yan harus berhemat mungkin untuk mengganti biaya sewa kamar dan makan selama tinggal di asrama sekolah. Suatu hari, ia diajak seorang temannya untuk membeli alat tulis di pasar desa. Ma Yan melihat sebuah bolpoin, dan ia jatuh cinta. Dan rasa ingin memiliki akhirnya muncul. Tapi harga bolpoin yang ia taksir, setara dengan jatah lima belas hari uang makannya. Ma Yan, akhirnya memilih menghemat uang makan demi bolpoin tersebut. Selama berhemat, ia hanya makan nasi tanpa sayur dan lauk. Terkadang, saking sudah bosannya ia terhadap nasi tanpa sayur, ia memilih untuk tak makan, dan lebih memilih untuk meneguk teh hangat manis setiap harinya. Setelah perjuangan selama lima belas hari tersebut, akhirnya bolpoin terbeli. Dengan bolpoin tersebut, ia menulis. Ia menulis apapun. Tentang ayah dan ibunya, tentang teman-temannya, dan tentang sekolahnya.

Suatu ketika, Ma Yan gagal dalam nilai-nilai sekolah. Ia malu pada diri sendiri dan pada ayah dan ibunya. Ia yang notabene bersikeras ingin tetap bersekolah, justru malah memberi hasil yang tak membanggakan. Ia berkali-kali menulis kata maaf dalam tulisan-tulisannya, dan berkali-kali mengucap maaf pada ayah dan ibunya. Masalah tak berhenti, ketika ayahnya memilih pergi ke kota karena musim hujan tak kunjung datang, dan ketersediaan uang di rumah semakin menipis. Akhirnya si ibu pun rela bekerja menjadi pemanen tanaman fa cai di tebing-tebing curam. Dengan klimaks yang demikian, tambah malulah Ma Yan terhadap apa yang selama ini ia perjuangkan untuk ingin tetap bersekolah.

Masa indah akhirnya tiba. Setelah ia gagal di tahun sebelumnya, justru di tahun berikutnya ia menempati peringkkat dua di kelasnya. Hasil yang bisa ia banggakan untuk perjuangan ayah dan ibunya. Hasil yang dapat ia bandingkan dengan seperti apa dan bagaimana ia menginginkan sekolah, meski dalam tradisi tak mengharuskan perempuan menikmati bangku sekolah. Karena itu moment yang menajubkan untuknya, maka ia menulis dalam bukunya, tentunya dengan bolpoin kebanggannya.

Ia menulis:

Aku begitu terharu. Bahkan aku tak sanggup menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan  perasaanku. Belum pernah kumiliki moment membahagiakan seperti ini. Pastinya takkan pernah kulupakan.


Novel ini ditutup dengan ending dimana tulisan-tulisan Ma Yan yang tertulis di buku catatan, oleh ibunya yang buta huruf, diberikan kepada rombongan orang asing yang berkunjung ke daerah mereka. Pemberian buku tersebut tanpa diketahui oleh Ma Yan sendiri. Si ibu hanya berharap, orang asing tersebut akan membaca tulisan-tulisan Ma Yan. Dan ibu juga berharap, bahwa suatu ketika nanti, orang-orang asing tersebut akan datang lagi ke daerah mereka dan mencari tahu. Bahwa di tempat terpencil tersebut terdapat seoarang anak perempuan yang cerdas.

Kaliurang, kamis minggu pertawa awal tahun 2014 jam 23.00 wib




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline