Lihat ke Halaman Asli

Pecandu Sastra

Jurnalis dan Penulis

Di Bawah Ridho Abah | Sebuah Cerpen Islami

Diperbarui: 8 Juli 2023   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi oleh Google

Oleh : Disisi Saidi Fatah

"Dik, aku akan segera melamarmu!" tutur Bang Alwi melalui pesan singkat kepadaku.

Malam itu hatiku berbunga-bunga, riang gembira tak karuan mendengar kabar itu. Ternyata benar bang Alwi menepati janji sebagaimana ia ucap waktu ketika aku boyong dari pesantren. 

Kurang lebih enam tahun kita saling mengenal sejak mengabdi di bawah atap yang sama. Aku merupakan perwakilan almamater cabang ketiga, sedangkan Bang Alwi adalah alumnus pusat, pesantren yang saat itu sama-sama kita tempati. Kala itu aku melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswi jurusan pendidikan Agama Islam sekaligus menjadi pembimbing santriwati yang kerap kali dipanggil ustadzah oleh anak-anak, dan bang Alwi ia kala itu memilih untuk menunda perkuliahan selama satu tahun sebab ia ingin fokus dengan hafalan qur'an. Baru setelahnya ia mengambil jurusan bahasa dan sastra Arab. 

Bang Alwi adalah sosok lelaki yang diidolakan banyak santriwati, sikapnya yang lemah lembut, perhatian, dan penyayang, serta kepiawaiannya dalam mendidik menjadikan dirinya banyak dikagumi, termasuk aku. Tak hanya itu, kecerdasan Bang Alwi menjadikannya terpilih sebagai salah satu staff terbaik pada penganugerahan tenaga pendidik madrasah pesantren dari pusat hingga cabang ketujuh selama dua tahun berturut-turut.

Setelah mengenal Bang Alwi beberapa waktu, aku mulai jatuh hati. Secara diam-diam aku menyembunyikan perasaan itu, tak sanggup rasanya mengutarakan isi hati. Untuk sekadar menatapnya saja aku takut apalagi sampai berbicara hal yang sejujurnya. seringkali aku memalingkan wajah taat kali bertatap dengannya, sebab khawatir akan menjadi celah jin dan setan yang menimbulkan dosa diantara kita.

Lambat laun perasaan itu kian tumbuh besar. Untuk menyuarakan isi hati, kutumpahkan segalanya dalam buku catatan harian yang tak seorangpun tahu.

Suatu ketika aku dan Bang Alwi tak sengaja saling bertabrakan di depan Gedung Rektorat yang mengakibatkan buku kita berjatuhan. Sebab terburu-buru buku agenda kita tertukar, kebetulan bukunya sama-sama berwarna hitam. Hal itu baru disadari ketika aku hendak menuangkan isi hatiku sebagaimana biasanya, tak sengaja pada buku Bang Alwi aku menemukan sebuah nama "Nabila" yang sontak membuatku kegeeran. Dalam hatiku membatin dan mulai bermunculan pikiran-pikiran aneh "Apa Bang Alwi juga memiliki rasa yang sama?" atau jangan-jangan Bang Alwi sudah ada calon yang kebetulan namanya sama denganku! Rasa itu segera kutepiskan. 

Sejak saat itu, nama Bang Alwi menjadi penambah dalam setiap doaku setelah nama kedua orang tua dan para guruku.

Singkat cerita, sampai pada akhir perjalanan masa pendidikan di perguruan tinggi, aku menyelesaikan kuliah dengan baik dan mendapat predikat cumlaude. dan dari sinilah kisah kita bermula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline