Jacob Oetama dan Tempo
RIP untuk Bapak JaKob Oetama, insan pers senior yang sangat memberikan warna bagi media di Indonesia. Jelas tidak mengenal secara personal siapa beliau, namun banyak kesaksian dari rekan-rekan yang pernah menjadi karyawan KG. Rata-rata memberikan penilaian positif dan kehilangan.
Tahu sedikit dari Buku Syukur atas 80 tahun beliau, salah satu yang paling menarik dan mengesan hingg kini adalah, bagaimana trik beliau aman dari rezim Soeharto.
Rekan dan parner Pak Jakob, Bapak PK Ojong yang sangat lurus dan kaku, berkali-kali mengalami pembredelan. Kolaborasi yang pas dengan almarhum Pak Jakoblah yang membuatnya bisa bertahan.
Dalam buku itu dikisahkan, bagaimana keringat dingin mengalir di balik jasnya, karena Sang Jenderal sambil tersenyum mengatakan, 'jaluk tak gebuk po?'. Simpel, sederhana, pendek, dan tidak banyak kata, masih dengan senyum pula. Hal itu dinyatakan dengan lugas karena Kompas menuliskan artikel dan opini yang menyangkut pemerintah.
Hal ini yang perlu generasi sekarang ketahui dan pahami, bagaimana tabunya media menyebut Soeharto dengan kroni-kroninya dengan apa adanya. Apalagi jika itu hal yang buruk, negatif, atau mengungkap apa yang tidak selayaknya.
Jangan pernah mengupas kegagalan pemerintah, apalagi bicara korupsi atau kenakalan anak-anak Cendana. Bisa digebug beneran. Arti gebug jelas semua dipahami dengan baik oleh elit Jakarta dan para pelaku pergerakan, ataupun media.
SIUP, adalah kartu sakti yang sangat membelenggu pers. Surat izin yang sangat mungkin dipermainkan oleh Menteri Penerangan kala itu, pemerintah dan Soeharto secara pribadi ikut andil di sana. Menteri hanya wayang dan semua dalam kendalii Soeharto. Almarhum Jakob bisa selamat dengan baik.
Dalam salah satu diskusi Surat Gembala Prapaskah 97 yang membuat salah satu pernyataan "Golput adalah Sebuah Pilihan" narasumber berasal dari Kompas menjawab mengapa tidak lagi garang seperti waktu sebelumnya, dengan pernyataan yang sangat tepat, "gerbong kami gede dan banyak, jika sampai dibredel, berapa juta orang yang terimbas."
Ingat, kala itu agen, loper, pengecer, dan jaringan persurat khabaran sangat gemuk dan menjanjikan. Berita dan opini yang tajam dan keras, kami taruh di dalam. Memang tidak mencolok namun tetap menohok. Pihak pemerintah, jarang melihat ke dalam, berbeda dengan pembaca.
Tempo