Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com

"Tradisi" ala Gatot dan Penahanan Zumi Zola, Korupsi Makanan Sehari-hari

Diperbarui: 10 April 2018   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tradisi ala Gatot dan penahaman Zumi Zola, korupsi makanan sehari-hari, dua gubernur aktif, muda, dan produk reformasi juga.  Beberapa hal  perlu dicermati dengan dua kasus besar ini,

Pertama, ekses reformasi adalah bahwa pemilihan semua langsung, ini positif sekaligus bencana karena karakter politikus maruk jauh lebih besar dengan dalih reformasi dan demokrasi. Membeli suara menjadi gaya hidup baru dan menggunakan dana sendiri tentu sayang. Uang yang dipakai dengan menggunakan uang negara, ngembat anggaran, atau menerima suap, tidak terkecuali juga malak tentunya.

Kedua, ekonomi politik mahal, karena membeli suara bukan menjanjikan prestasi dan kompetensi.  Hal ini tidak akan berganti jika pun memilih gubernur, bupti-walikota via DPRD. Mengapa? Hanya mengalihkan dana ke anggota dewan. ini bukan solusi, hanya menguntungkan elit, lagi-lagi parpol. Jelas lebih murah dan terukur, dengan membayar 50% + 1 suara kali X rupiah, sudah pasti jadi.

Ketiga, relasi dewan dan eksekutif, seperti pengakuan Gatot terpindana, dan juga tersangka ini tentu bukan bicara asal-asalan. Perlu mendapat perhatian serius. Nyatanya ada kisah di Jambi yang membuat Zumi Zola menyusul, pun di Malang dengan rombongan memenuhi bui dengan 18 anggota dewan dan dua calon walikota. Apakah hanya ketiga tempat ini? Jelastidak.Apakah KPK, kejaksaan, dan kepolisian akan menindak lanjuti? Nampaknya ya gitu saja.

Keempat,  parpol dengan mekanisme mempertahankan diri untuk terjebak dalam selalu prosedural dan azas praduga tak bersalah, selalu saja membuat lingkaran setan korupsi tidak pernah bisa berkurang, bahkan selalu berkembang,

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Satu, mendidik bangsa dan rakyat untuk menghukum pelaku korupsi dengan lebih keras lagi. Atas nama HAM, dan pidana mengembalikan status "bersih" bisa diterima, jangan pilih lagi pelaku yang sudah pernah pernah dipidana korupsi, apalagi tidak menyesal, menuduh pihak lain, dan sejenisnya. Lihat model Setya Novanto, Nazarudin, Akil M, Patrialis Akbar, mereka jelas-jelas tidak kekurangan, namun tamak, pun tidak menyesal dan malah menyalahkan banyak pihak.

Dua, penegakan hukum menyeluruh, tidak menghentikan dengan berbagai alasan, apalagi dalih kurang bukti terus menerus, nyatanya korupsi bukan maling ayam yang bisa dilakukan sendirian. Selama ini masih banyak maling-maling yang masih berkeliaran karena licik dan culas dalam makan teman atau mengelabui hukum.

Tiga, jadikan korupsi sebagai musuh bersama. Nyatanya sekarang masih saja banyak pembela. Mana itu yang dulu membela Setya Novanto, atau membela Nazar, Anas, Angie, toh juga terbukti kog, ada bukti-bukti yang membuat mereka dipidana atau disidang. Pembela ini bukan tidak tahu memang yang dibela itu benar-benar tidak mengambil uang, namun mereka ikut aman. Singkirkan praduga tak bersalah dalam kasus beginian. Penuh penjara pasti.

Empat, pembuktian terbalik. Katanya mau pinjam Duterte, kog mlempem kalau soal korupsi?  Mengapa? Buktikan hartanya darimana saja asal-usulnya. Maka banyak yang ribut soal asal-usul kekayaan, lha bagaimana tidak, wong LHKPN saja banyak dalih demi menyembunyikan hartanya.

Lima, hargai prestasi bukan kekayaan. Selama ini orang lebih menghargai orang kaya, bukan orang berprestasi, kekayaan itu bonus dan hasil atas prestasi, bukan karena menyuri dong.  Tidak alergi kekayaan, namun bahwa kekayaan itu hasil dari prestasi dan kerja keras.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline