Korupsi merupakan sebuah tindakan yang menyimpang dari nilai dan norma, serta bersifat merusak. Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan untuk
memberikan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain (Black, 1990: 345, dikutip dari Anwar 2019: 6). Korupsi dapat terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Dalam hal ini penyalahgunaan kewenangan serigkali terjadi bukan hanya karena sistem pengawasan yang tidak berjalan, melaikan juga karena masalah birokrasi dan mentalitas kebudyaan yang berjalan di pemerintahan. Sehingga korupsi menjadi hal yang sangat kompleks, tidak hanya berkaitan dengan hukum, melainkan juga persoalan sosial politik dan kebudayaan.
Korupsi sangat erat dengan kedudukan yang dimiliki oleh seseorang, semakin tinggi kedudukan seseorang maka ia semakin memiliki kekuasaan yang besar untuk melakukan sesuatu, termasuk korupsi. Pelaku tindak pidana korupsi memiliki berbagai motif, diantaranya greeds (keserakahan), opportunities (kesempatan), needs (kebutuhan) dan exposures (pengungkapan). Motif seseorang dalam melakukan korupsi tidak hanya untuk memperoleh kekuasaan atau keuntungan secara material. Namun, korupsi juga dilakukan agar dapat meningkatkan hubungan pertemanan, percintaan, status, dan pencitraan serta membuat orang lain menjadi terkesan, terpesona dan mudah terpengaruh (Huberts, 2008 dikutip dalam Salama 2014 : 152). Tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi di sektor publik saja, namun terjadi pula di sektor swasta dan lembaga lainnya. Sehingga korupsi menjadi fenomena yang menjalar diberbagai lapisan masyarakat.
Korupsi menjadi fenomena yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, dilansir dari Kompas.com, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, terdapat 1.298 terdakwa kasus korupsi di Indonesia, dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 56,7 triliun serta total kerugian negara akibat tindak pidana suap mencapai Rp. 322, 2 miliar selama 2020. (Kompas.com, 2021). Kasus korupsi terus mengalami kenaikan dari tahun ketahun, hal ini membuat korupsi menjadi fenomena yang memiliki eksistensi tersendiri, namun eksistensi ini mengarah kepada kerusakan bagi negara dan masyarakat.
Salah satu tindak pidana korupsi terbesar di Indonesia adalah kasus PT Asabri (Persero), dilansir dari Kompas.com, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengumumkan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi PT Asabri, yaitu mencapai Rp. 22, 78 triliun. Kerugian negara itu timbul akibat adanya kecurangan dalam pengelolaan kekuangan dana investasi PT Asabri selama priode 2012-2019. Kejaksaan Agung telah menetapkan 8 tersangka dalam kasus ini antara lain, mantan Direktur Utama PT Asabri, Adam R Damiri dan Sonny Widjaja, Jimmy Sutopo selaku Direktur Jakarta Emiten investor Relation, Benny Tjokrosaputro selaku Direktur PT Hanson Internasional, Bachtiar Effendi selaku Direktur Keuangan PT Asabri Priode Oktober 2008-Juni 2014, Hari Setianto selaku Direktur PT Asabri priode 2013-2019, Heru Hidayat selaku Direktur PT Trada Alam Mineral dan Direktur PT Maxima Integral serta Lukman Purnomosidi sebagai Direktur Utama PT Prima Jaringan (Kompas.com, 2021).
Korupsi memberikan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat dan negara. Dengan adanya korupsi diberbagai lapisan sistem membuat pembagunan ekonomi dan sosial menjadi semakin sulit berjalan, hal ini juga berpengaruh terhadap kualitas pelayanan publik yang tidak maksimal. Dana yang seharusnya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum dalam meningkatkan kesejahteraan, disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu demi keuntungan pribadi. Dimana hal ini tidak terlepas dari adanya niat, keserakahan dan peluang dalam melakukan korupsi.
Salah satu ilmu yang mengkaji tentang korupsi adalah sosiologi korupsi. Sosiologi korupsi merupakan suatu cabang ilmu sosiologi yang membahas mengenai perilaku individu atau kelompok dalam lingkup masyarakat tertentu yang sifatnya merusak atau menghancurkan, serta terdapat penyelewengan hak dan kewajiban di dalamnya. Sosiologi korupsi melihat korupsi dari berbagai macam sudut pandang, mulai dari perilaku korupsi, sistem birokrasi dan kondisi sosial masyarakat.
Korupsi menjadi sebuah gambaran bahwa terdapat fenomena degradasi moral, korupsi dilakukan secara terus menerus dengan mengesampingkan nilai dan norma, serta hukum yang ada. Korupsi memperihatkan bahwa kepedulian terhadap sesama sudah mengalami banyak penurunan. Tindakan korupsi juga didorong oleh mentalitas kebudayaan, dimana pada masyarakat modern yang erat kaitannya dengan kapitalisme beranggapan bahwa "harta" dan "tahta" sebagai hal yang utama. Dalam hal ini para pelaku tindak pidana korupsi menjadikan jabatanyang mereka miliki sebagai alat memperkaya diri, bukan untuk mengabdi kepada masyarakat dan negara.
Teori sosiologi korupsi yang dapat menjadi pisau analisis tindak pidana korupsi di Indonesia, adalah teori strukrural fungsional. Teori struktural
fungsional memandang jika masyarakat terdiri dari berbagai bagian, serta memiliki fungsi masing-masing untuk mencapai keseimbangan. Perspektif struktural fungsional memandang bahwa menjamurnya praktek korupsi di Indonesia merupakan tanda disfungsinya hukum dalam menciptakan tujuanya, yakni mewujudkan kepatuhan hukum dan keteraturan di masyarakat ( Mustopa 2021: 228). Dalam teori ini, kelanggengan korupsi juga disebabkan oleh adanya disfungsi dalam birokrasi pemerintahan serta lembaga-lembaga yang berwenang dalam kasus korupsi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman merupakan bagian birokrasi yang berwenang dalam tindak pidana korupsi. Lemahnya pengawasan dalam tindak pidana korupsi oleh lembaga berwenang, menjadi peluang tersendiri bagi para pelaku untuk tetap melangsungkan korupsi.
Para penegak hukum yang cenderung dianggap membuat hukum menjadi tumpul keatas dan tajam kebawah, merupakan cerminan bahwa terdapat diskriminasi dalam hukum. Perlakukan istimewa terhadap narapidana korupsi di lapas Sukamiskin, melibatkan orang dalam (petugas lapas) hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi disfungsi peran petugas lapas, sebagai aparat penegak hukum yang bertanggungjawab mengelola pempinaan lapas (Mustopa 2021:32). Hal ini dapat menjadi faktor pendorong terulangnya kasus tindak pidana korupsi, karena para pelaku tindak pidana korupsi tidak mendapat efek jera. Kasus korupsi yang terus meningkat dan penanganan kasus yang dirasa kurang maksimal, dapat membuat masyarakat menjadi kecewa terhadap pemerintah.
Korupsi dapat diberantas dengan memperbaiki sistem birokrasi yang ada, serta lembaga yang berwenang dalam tindak pidana korupsi dapat memenuhi fungsinya masing-masing. Pemerintah harus memperhatikan bagaimana pencegahan tindak pidana korupsi, baik dalam lingkup pemerintah desa, sampai pemerintahan pusat. Pelaksanaan hukum yang tidak pandang bulu, menjadi hal yang sangat penting dalam kasus tindak pidana korupsi, hal tersebut agar memberikan efek jera, dan peringatan kepada pihak-pihak lain. Selain itu, pemerintah juga wajib menjamin kesejahteraan masyarakat, agar masyarakat terhindar dari perilaku korupsi misalnya menerima suap ketika pemilihan umum. Pendidikan memiliki pengaruh yang sangat peting dalam pencegahan perilaku korupsi, misalnya dengan pendidikan anti korupsi, edukasi tentang nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, tangjung jawab, kepentingan sosial, hak dan kewajiaban.
DAFTAR REFERENSI
Anwar, Ali, Beni Ahmad Saebani dan Ai Wati. 2019. Sosiologi Korupsi.
Bandung: PUSTAKA SETIA.
Mutofa, Zenal, dkk. 2021. Korupsi Dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jurnal
Hermeneutika, Vol 5, No 2.
Salama, Nadiatus. 2014. Motif dan Proses Psikologis Korupsi. Jurnal Psikologi,
Vol. 41, No. 2.
Kompas.com. 2021. Kasus Korupsi Asabri Kejagung. Diakses melalui
https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/09/28/17334811/kasus-
korupsi-asabri-kejagung-periksa-10-saksi, pada 26 Oktober 2021.
Kompas.com. 2021. ICW Sepanjang 2020 Ada 1298 Terdakwa Kasus Korupsi.
Diakses melalui https://amp.kompas.com/nasional/read/2021/04/09/
18483491/icw-sepanjang-2020-ada-1298-terdakwa-kasus-korupsi-
kerugian-negara-rp-567, pada 26 Oktober 2021.