Manipulasi Cinta
Oleh: Patimah
Kau datang membawa cahaya, ternyata hanya fatamorgana.
Namaku Alya. Usia dua puluh empat tahun. Aku seorang konsultan keuangan yang bekerja di perusahaan multinasional. Pekerjaan ini bukan hasil keberuntungan semata, tapi hasil kerja keras bertahun-tahun, termasuk luka yang membawaku menjadi wanita kuat seperti sekarang.
Kisah ini bermula lima tahun lalu, saat aku masih menjadi mahasiswi semester akhir. Saat itu aku sedang magang di sebuah kantor konsultan pajak. Di sanalah aku bertemu dengan pria yang belakangan menjadi bagian penting, dan juga luka paling dalam. dalam hidupku.
Namanya Raka. Usianya sekitar sepuluh tahun lebih tua dariku. Sosoknya tampan, penuh wibawa, dan sangat perhatian. Ia salah satu manajer senior yang kerap membimbingku dalam pekerjaan. Banyak orang mengaguminya karena kecerdasannya dalam merancang strategi keuangan yang rumit, dan aku salah satu yang terpikat oleh pesonanya.
Kedekatan kami bermula dari hal-hal kecil. Dia sering mengajakku berdiskusi di luar jam kerja. Menawarkan tumpangan pulang saat hujan. Mengajak makan malam sepulang kantor. Semua dilakukan dengan elegan dan tanpa paksaan, membuatku merasa istimewa dan dihargai.
"Rasanya dunia ini lebih ringan kalau ada kamu," katanya suatu malam di parkiran kantor, setelah mengantar aku pulang.
Kalimat itu seperti mantra. Aku jatuh.
Lambat laun, hubungan kami makin dekat. Meski ia tak pernah secara resmi menyatakan cinta, sikapnya sudah cukup untuk membuatku yakin bahwa ia mencintaiku. Dan saat aku bertanya apakah ia memiliki kekasih atau istri, ia menjawab sambil tersenyum pahit, "Aku pernah menikah. Tapi sudah pisah jalan. Hanya tinggal urusan administrasi."
Aku percaya.
Hubungan kami berjalan lancar selama beberapa bulan. Raka adalah pria impian. Ia memperhatikanku, mendukung setiap langkahku, bahkan rela menungguiku lembur demi menyemangatiku. Di mataku, ia sempurna.
Namun, satu hal yang menggangguku adalah sikapnya yang sangat tertutup soal kehidupan pribadinya. Ia tidak pernah mengajakku ke rumahnya, tidak mengenalkanku pada keluarganya, dan selalu menghindar jika aku menanyakan tentang mantan istrinya.
"Aku nggak mau masa lalu itu merusak kebahagiaan kita sekarang," katanya, sambil membelai rambutku lembut.
Aku memaklumi. Saat seseorang terluka di masa lalu, tentu butuh waktu untuk membuka diri.
Tapi semuanya berubah ketika aku tanpa sengaja melihat pesan WhatsApp di layar laptopnya. Saat itu aku duduk di meja kerjanya, menunggunya selesai rapat. Sebuah pesan muncul, "Sayang, anak-anak nanyain Papa, kapan pulang?"
Dadaku sesak. "Anak-anak"? "Papa"?
Aku langsung membeku.
Ketika kutanya, Raka tak menyangkal. Ia malah membela diri.
"Iya, aku belum benar-benar cerai. Tapi kamu harus percaya, pernikahan itu sudah lama hampa. Kami hanya tinggal satu atap karena anak-anak."
Aku terpukul. Tapi aku juga sudah terlalu jauh tenggelam dalam perasaan. Logikaku mati. Aku tetap bertahan.
Selama dua tahun berikutnya, aku menjalani hubungan yang makin gelap dan penuh ketidakpastian. Raka sering menghilang tanpa kabar, berdalih sibuk atau harus menemani anak-anaknya. Setiap kali aku mulai mengeluh, ia akan kembali bersikap manis dan memintaku sabar.
"Kita butuh waktu. Aku janji akan pilih kamu."
Janji yang diulang-ulang seperti lagu lama. Tapi tak pernah ada kepastian.
Sampai akhirnya, aku hamil.
Kupikir kehamilan ini akan menjadi titik balik. Bahwa Raka akan benar-benar memperjuangkanku dan anak kami. Tapi justru sebaliknya. Ia panik. Ia menyuruhku menggugurkan kandungan.
"Aku belum siap. Anak-anak masih kecil. Istriku bisa gila kalau tahu," katanya ketakutan.
Hatiku hancur. Aku menolak. Bagiku, anak ini adalah bagian dari hidupku. Bukti dari cinta, meski cinta itu keliru.
Raka menghilang. Ia memblokir nomorku, pindah kantor, dan seperti lenyap dari dunia.
Aku harus menghadapi semuanya sendiri.
Hari-hari setelah itu adalah hari tergelap dalam hidupku. Aku berhenti kuliah sementara waktu, menghindari teman-teman, dan menyewa kamar kecil di pinggiran kota. Di sana, aku melahirkan putraku Arga, tanpa satu pun keluarga yang tahu.
Aku ingin menyerah. Tapi setiap kali melihat Arga tertidur dengan damai, aku tahu aku harus bangkit. Aku tidak boleh menjadi lemah hanya karena telah dimanipulasi oleh cinta semu.
Setelah beberapa bulan, aku kembali kuliah. Kutinggalkan rasa malu dan rasa sakit di belakang. Aku menyelesaikan skripsi, lulus dengan nilai terbaik, lalu mencari kerja demi masa depan anakku.
Kini, lima tahun telah berlalu. Aku bekerja sebagai konsultan keuangan dan hidup mandiri bersama Arga. Ia tumbuh sehat dan cerdas. Tak pernah sedikit pun kutunjukkan padanya bahwa ia lahir dari hubungan yang salah. Ia tidak salah memilih takdir. Yang salah adalah aku, yang buta oleh cinta dan janji palsu.
Suatu sore, saat aku sedang mempersiapkan laporan keuangan untuk klien baru, seseorang mengetuk pintu ruanganku. Aku menoleh. Degup jantungku berhenti sesaat.
Raka.
Ia berdiri di sana, masih tampan seperti dulu, tapi ada kerutan di wajahnya dan sorot mata lelah. Ia masuk, tanpa undangan, dan duduk di kursi depanku.
"Kamu kelihatan makin dewasa," katanya membuka percakapan.
Aku hanya menatapnya dingin. "Ada urusan apa kamu ke sini?"
Ia terdiam lama. Lalu berkata, "Aku minta maaf. Aku pengecut. Tapi aku menyesal. Aku pikir... mungkin kita bisa bicara."
Aku menggeleng. "Terlambat, Raka. Waktu untuk bicara sudah lewat lima tahun lalu."
Ia menunduk. "Aku ingin bertemu anakku."
Aku tersenyum pahit. "Kamu kehilangan hak itu ketika memilih menghilang. Arga tidak membutuhkan ayah yang datang hanya karena rasa bersalah."
Raka bangkit. "Aku akan terus mencoba..."
Aku berdiri, menatap matanya dengan tegas.
"Cinta yang kau tawarkan dulu adalah manipulasi. Sekarang, jangan mencoba memanipulasi rasa iba. Hidup kami baik-baik saja tanpa kamu."
Ia tidak berkata apa-apa. Ia pergi, meninggalkan jejak masa lalu yang tak akan pernah kuundang kembali.
Dari balik jendela, aku melihat Arga bermain di halaman kecil kantor bersama pengasuhnya. Ia tertawa, bebas, bahagia.
Aku menarik napas panjang. Luka itu masih ada, tapi kini tak lagi berdarah. Aku telah berdamai dengan masa lalu. Aku tidak membenci Raka, tapi aku belajar darinya. Bahwa cinta yang sejati bukan soal janji manis, tapi tentang keberanian untuk bertanggung jawab.
Aku mengangkat telepon dan memanggil Arga masuk.
"Mama punya cerita nanti malam. Tentang seorang pahlawan kecil yang tumbuh dari air mata mamanya."
Arga tertawa kecil. "Itu aku, ya, Ma?"
Aku mengangguk.
Ya, Nak. Itu kamu. Dan kamu akan tumbuh jadi lelaki yang tahu bahwa cinta bukan untuk dimanipulasi, tapi untuk diperjuangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI