Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Perempuan Menunggu Hujan

Diperbarui: 12 Januari 2021   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi-Pixabay

Hujan masih tumpah. Semakin keras. Aku memutuskan menunggu Kaijai sambil berteduh di batang pohon sowang yang akan dia lewati sebelum sampai ke rumah. 

Payungku tak kan mampu menjagaku dari derasnya air dari langit. Kalau memaksa berjalan mencari Kaijai, aku akan basah kuyup. Kaijai pasti kesal begitu tahu aku sengaja melawan hujan.

Kaijai tak biasa bekerja di kebun hingga hari menjelang senja, karena itu aku ingin menyusul. Aku harus memastikan kecemasanku tak berdasar. 

Sedari pagi, aku membayangkan Kaijai pulang dengan keranjang buah musa ingens, pisang raksasa sebesar lenganku. Bahkan bisa sebesar tubuh bayi. Buah yang tumbuh tinggi menjulang hanya di tanah kami. Tanah yang telah banyak kehilangan.

"Semoga hujan tak lekas pergi," harapku dengan yakin dan senang hati. Seperti aku meyakini hutan-hutan Papua akan tetap menjadi kebun terbesar di muka bumi. Tak ada yang boleh mengambilnya dari kehidupan kami. 

Semakin lama hujan bertahan, kepulan asap akan berkurang. Hanya hujan yang mampu meredam api berkobar-kobar.

Sekian lama kami dirundung asap dari hutan yang hangus. Dari hari ke hari, pembukaan lahan perkebunan sawit semakin luas. Dugaan pun ramai, kepulan asap datang dari sana. Padahal, perusahaan sawit punya mesin-mesin pembalak hutan. 

Ah, jangan-jangan, mesin-mesin itu hanya kedok?

Aku tak kalah risau karena Pandanus conoideus makin langka. Kami menyebutnya kuansu, buah yang umumnya berwarna merah sebesar jagung dengan rasa lebih segar. Aku masih yakin Kaijai akan datang membawanya untukku. 

Kaijai percaya kuansu dapat menyembuhkan banyak penyakit. Aku berharap hipertensi yang ibu mertua alami akan sembuh dengan memakan cukup kuansu. Namun bagiku, Kaijai lebih dari cukup sebagai penyembuh kerinduan setiap waktu. 

Menjadi pendamping lelaki perkasa penakluk rimba raya seperti Kaijai adalah anugerah besar, yang sedang kunikmati dalam usia pernikahan belum setahun. Aku merasa damai bernaung di bawah keberaniannya, dan dengan keberanian itu Kaijai melindungi hutan rumah kami. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline