Lihat ke Halaman Asli

Kegaduhan di Tengah Rimba

Diperbarui: 22 Januari 2023   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(https://pixabay.com)

Ini adalah kali kedua-belas aku menyapu keringat yang menetes melewati dahiku. Panas. Kutatap ke sekeliling untuk mencari perteduhan, namun yang kutemukan bukan pohon; kalau saja tumbuhan setinggi  dua Meter disekeliling lapangan ini dapat kusebut pohon.Teman-teman sepermainanku memang senang menyebutnya demikian, tetapi aku takkan sekali-kali mau menyebutnya pohon.

Tadinya lapangan kering kerontang ini adalah taman hijau yang rindang. Aku baru tahu itu ketika membuka album foto keluargaku. Foto itu secara jelas menampilkan kakek dan nenek yang berdiri bersama ayahku. Mereka duduk santai pada hamparan rumput bagaikan permadani hijau, di antara pepohonan yang tumbuh tinggi nan rapat. Pemandangan itu menyejukkan hati. Namun entah mengapa kehijauan lapangan itu kini hanya menyisakan tumbuhan-tumbuhan kerdil semacam ini.

Tiada yang tahu secara pasti siapa penyebab hilangnya kehijauan taman itu. Konon, sepuluh tahun yang lalu, pepohonan di sekitar taman ini tumbang dan rumputnya menguning begitu saja dalam semalam. Sejak saat itu, taman ini berubah menjadi lapangan gersang.

Aku melirik jam digitalku. Waktu tepat menunjukkan tengah hari, namun tak ada niat untuk beranjak dari sini. Aku mematung di bawah sengat mentari ini. Terpanggang. Namun entah mengapa, kubiarkan saja.

Aku baru ingat, biasanya ada sekelompok bapak berbaju hitam melakukan ritual aneh di lapangan kering ini. Sejak setahun lalu, aku terus memantau pergerakan mereka dari semak-semak, namun selalu saja mereka mengetahui kehadiranku. Hardikan keras mereka yang membahana tak pelak lagi mengusik dan mengusirku.

Bagaimanapun, rasa penasaran masih bersarang di dalam dadaku dan aku belum pernah mau menyerah begitu saja. Kali ini aku bertekad meneliti tentang ritual aneh itu.

Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Mentari mulai merangkak ke arah Barat, namun belum juga ada tanda-tanda kedatangan orang-orang aneh itu. Aku terus menunggu dari balik semak-semak ini. Angin kini berhembus lebih kencang dari biasanya. Namun bukan kesejukan yang kurasa, melainkan hawa yang panas membara. Firasatku yang tajam akan apa yang akan terjadi mendorongku tetap bersembunyi di balik semak-semak ini, sambil mengintai keadaan di sekitar lapangan.

Benar saja! Mereka datang lagi. Tiga lelaki berpakaian serba hitam. Kuusahkan agar mereka tak melihatku dan tak menyadari kehadiranku. Aku tutupi seluruh diriku dengan rerumputan yang gatal rasanya. Memang hal ini sangat menyiksa, tetapi lebih menyikasa lagi rasanya kalau aku gagal lagi. Tekadku sudah bulat, tahu apa yang sebenarnya terjadi atau tetap mematung di sini.

Kini kulihat mereka membentuk lingkaran lagi seperti yang sudah-sudah, sambil mengangkat tangannya ke arah langit dan berteriak keras-keras: “Berikan kami kuasa! Berikan kami kuasa! Berikan kami kuasa !”

Siapa yang mereka teriaki? Tuhan? Dewa? Moyang mereka? Entalah. Aku masih terlalu hijau untuk memahami semua itu. Aku terus saja mengintip. Tidak terjadi apa-apa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline