Lihat ke Halaman Asli

Maaf, Guru Bukan Dibodohi, Dipinteri Malah

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13489658851078998219

Ketimbang menulis komentar panjang di artikel Pak Johan Wahyudi, dalam http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/30/mau-maunya-guru-dibodohin/ kutuliskan saja di sini. Tapi, judul yang saya tuliskan itu jelas terpengaruh oleh bahasa Jawa, dan itu yang hendak dikupas, seadanya. Akan berbahasa apapun Anda, tapi dahulukan rasa (dari pakar). Ini sangat merasuk di kultur Jawa, sehingga ada semacam kasta dalam berbahasa, dinamakan 'ngoko', 'krama', 'krama inggil'. Termasuk urusan kata bodoh atau pinter. Kalau ada orang yang berpendidikan, tertipu, maka bukannya dia dibodohi tetapi dipinteri. Artinya, kepinterannya masih kalah, walaupun sebenarnya kalah dalam perilaku buruk seharusnya malah disyukuri. Apakah ini terkait dengan benar salah? Tidak juga, tetapi menyangkut rasa bahasa, iya. Sedangkan kejadian seperti di foto ini, memang efektif, tapi jelas tidak efisien, masak pohon segede itu perlu dirobohkan oleh empat orang yang sehat dan kuat. Saya dibodohi mereka atau mereka saya pinteri sih?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline