Lihat ke Halaman Asli

Apakah Cinta Itu Harus Berurai Air Mata?

Diperbarui: 28 Desember 2021   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: pixabay.com

Mula-mula kami bertemu tanpa sengaja. Ketika itu dia kehilangan kunci motornya. Wajahnya yang sekilas manis itu, tampak merengut. Setelah menimbang dengan cepat, saya menghampirinya. 

"Eh, ada yang bisa saya bantu?" Ujar saya dengan suara yang cukup buruk. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu.

Dia melihat saya. Lalu seperti sudah kenal bertahun-tahun, dia menceritakan masalahnya pada saya. Lengkap.

Pertama dia kehilangan kunci motor. Kedua dia memang memiliki kebiasaan serupa, sering kehilangan kunci. Bahkan katanya, hari itu saja sudah tiga kali ia harus menderita gara-gara kehilangan kunci.

"Kalau kamu tidak tergesa-gesa, duduk sebentar saja di sini" ujar saya sembari menunjuk kursi panjang yang tepat berada di dekat saya.

Ternyata ia menurut saja pada ide saya. Ia melangkah, tetap dengan wajah kesalnya, lalu duduk. Saya juga ikut duduk di sebelahnya. 

"Maaf. Kadangkala semakin kita bernafsu mencari sesuatu, justru yang kita cari itu malah tambah tidak ketemu. Saya tidak tahu ini mitos atau apa, tetapi saya sering menerapkan hal demikian."

Dia mengangguk. Lalu melihat jam tangannya. Mengambil gawai di tasnya. 

"Maaf. Aku Anjali terlambat hari ini. Biasa, aku kehilangan kunci lagi. Sekali lagi maaf. Salam sama Abi"

Saya menyodorkan air mineral dalam kemasan botol. Sepertinya ia nampak terkejut. Lalu menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. Persis seperti dugaan saya, ia segera membuka tutup botol itu. Lalu mengucap "Bismillah" dan meneguknya.

"Ah maaf. Sebelumnya kita tidak pernah ketemu kan ya? Aku Anjali. Aku ke sini untuk menebus obat mama."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline