Lihat ke Halaman Asli

Ouda Saija

TERVERIFIKASI

Seniman

Wayang Sumber Kekerasan Orang Jawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1296185105681293367

[caption id="attachment_87697" align="aligncenter" width="604" caption="Erotika #13, oil on canvas, 140 x 200 cm (dok. pribadi)"][/caption] Saya sedang melukis dan mendengarkan wayang malam-malam ketika seorang teman pelukis yang berasal dari Bali, berambut gimbal ala Bob Marley datang. Dia masuk ke studio lalu mulai dengan bersemangat bercerita tentang pengalamannya yang baru saja terjadi di jalan.

“Mas baru saja saya menonton tinju bebas di jalan. Ada tukang becak berkelahi dengan mahasiswa yang naik sepeda motor. Mereka srempetan lalu berkelahi. Padahal katanya orang Jawa sopan dan halus ya mas. Ternyata ada yang berkelahi di jalan juga ya?”

Merasa diserang sebagai orang Jogja, secara instingtif (mungkin masih ada sisa-sisa binatang dalam diri saya yang berupa insting) saya tentu bertahan dan saya berkata:

“Pasti bukan orang Jogja, pasti pendatang lah.” Sesudah diam sejenak, saya bisa berpikir dan menjawab bukan berdasarkan insting yang defensif. Saya berkata:

“Orang baik ada di mana-mana, orang jahat ada di mana-mana. Orang Jawa ada yang halus dan sopan, ada juga yang brangasan, jahat dan ugal-ugalan.” Saya jadi berpikir dari mana datangnya kekerasan pada orang Jawa. Padahal secara stereotipe orang Jawa sering disebut-sebut sopan dan halus.

Hampir jam 12 malam dan wayang di radio tambah seru. Ada perkelahian yang terjadi di cerita itu. Saya jadi bertanya-tanya, mungkinkah kekerasan orang Jawa bersumber dari wayang.

Tv dan Kekerasan.

Banyak yang setuju dengan hasil-hasil penelitian yang menyebutkan bahwa ada korelasi antara kekerasan yang dilakukan remaja dengan kekerasan yang mereka tonton di televisi. Tentu saja banyak grup media yang menolak kenyataan ini karena biasanya tontonan dengan kekerasan ratingnya cukup tinggi. Penelitian yang banyak diacu dan komprehensif adalah penelitian longitudinal Leonard Eron[1] yang melihat hubungan antara tindak kekerasan remaja dan program televisi.

Penelitian ini menemukan korelasi yang kuat antara tindakan kekerasan remaja dan program televisi yang mereka tonton. “The more violence children watched on television, the more aggressive they were in school.”[1]. Anak-anak yang menonton lebih banyak kekerasan di televise akan menjadi lebih agresif di sekolah. Penelitian jangka panjang ini juga menunjukkan bahwa anak yang tidak agresif pada waktu kelas tiga SD tetapi menonton televise dengan tindak kekerasan menjadi berkekerasan ketika mencapai umur 19 tahun[1].

Hipotesa Wayang dan Kekerasan

Wayang adalah sebuah pertunjukkan yang sarat muatan. Bagi orang Jawa wayang adalah sebentuk pertunjukkan yang dipakai untuk menyampaikan berbagai pesan moral. Tak jarang pada saat-saat tertentu wayang dipakai sebagai media pendidikan, tapi tak jarang pula wayang adalah media yang mengandung titipan pesan pemerintah.

Mungkinkan wayang juga menyampaikan pesan kekerasan kepada penontonnya? Pesan kekerasan apakah yang terkandung dalam wayang?

Sejauh pengamatan saya, belum ada penelitian yang mengkaji pengaruh atau korelasi antara kekerasan dengan wayang. Jadi tulisan ini adalah hipotesa saya tentang adanya hubungan antara wayang dan kekerasan. Dugaan ini tentu saja bukan dugaan yang asal dan sembarangan.

Dugaan yang bersifat sementara ini berdasarkan pengamatan saya terhadap pertunjukkan wayang. Data terbatas ini saya kumpulkan dari dua dalang yaitu Ki Manteb Sudarsono yang bergaya Surakarta dalam cerita “Sesaji Rajasurya”dan Ki Timbul Hadiprayitno yang bergaya Yogyakarta dalam lakon “Abimanyu Gugur”.

Kekerasan dalam pertunjukkan wayang bukan kekerasan fisik yang bisa dengan jelas dilihat karena karakter wayang adalah karakter karikatural yang lebih menyerupai tokoh kartun dalam media televisi. Kekerasan dalam wayang berupa kekerasan verbal atau yang biasa kita kenal dengan verbal abuse[2].

Kekerasan verbal atau verbal abuse adalah sebentuk kekerasan menggunakan kata-kata. Kata-kata dipakai sebagai alat untuk menyerang atau menyakiti orang lain. Kekerasan ini bisa menjadi sejenis penyerangan terhadap kepercayaan diri seseorang, semacam kekerasan psikologis [3].

Kekerasan Verbal dalam Wayang

Menurut pendapat saya wayang bisa menjadi sumber kekerasan verbal karena secara umum wayang diterima sebagai media yang sehat untuk mewariskan nilai-nilai budaya Jawa. Lebih dari itu banyak orang Jawa menginditifikasikan diri dengan berbagai tokoh baik dalam wayang.

Pada kenyataannya data menunjukkan bahwa tokoh-tokoh baik tersebut banyak melakukan kekerasan verbal. Kekerasan verbal tidak hanya terbatas dilakukan oleh tokoh jahat. Wayang sendiri sangat hitam putih dalam memisahkan tokoh baik dan tokoh jahat. Bahkan sebelum wayang mulai penonton sudah tahu siapa saja tokoh baik dan siapa saja tokoh jahat karena dalang menyusun tokoh baik di sebelah kanannya dan tokoh jahat di sisi kirinya.

Inilah beberapa contoh kekerasan verbal dalam wayang:

Tokoh Baik

Contoh Kekerasan Verbal

Dalang

Baladewa

Tak idek telakmu…

(Ku injak kerongkonganmu…)

Ki Manteb

Setyaki

Tebak dadamu, putung kwandamu…

(Kupukul dadamu, patah tubuhmu…)

Ki Manteb

Sadewa

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline