Lihat ke Halaman Asli

Harun Anwar

Menulis sampai selesai

Pada Titik Aku Mencintaimu, Hidup Tak Boleh Berhenti

Diperbarui: 3 Februari 2020   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: Pixabay/4startraveler)

Meminjam sebuah petikan dalam syair "Arti penting manusia bukan terletak pada apa yang dia peroleh, melainkan apa yang sangat ia rindukan untuk diraih."

Aku memulai tulisan kecil ini dengan seuntai kalimat brilian dari pujangga masyhur Lebanon, Kahlil Gibran. Kalimat kecil yang merupakan anak kandung hasil perkawinan perasaan dan pikiran Gibran sendiri.

Itu menjadi bukti betapa Gibran adalah orang yang kuat perasaannya. Ia bisa menjelaskan apa saja yang dirasakan hatinya, entah itu luka, cinta, kebahagiaan, atau malah duka kepahitan yang berakhir air mata.
             
Sesungguhnya satu hal telah membuatku nyaris tak bisa berkata-kata. Berat untuk sekadar menulis sebuah frasa, apalagi seberat paragraf, rasanya aku perlu menggerakkan semua kekuatan untuk memulai tulisan ini. Juga semacam ada ketakutan dalam diri untuk memulai bercerita. Aku kehilangan keberanian.

Itulah musabab aku memilih mengutip kata-kata milik Gibran, penyair yang begitu aku sukai semenjak anak-anak, untuk memulai ini.

Entah semenjak kapan cinta itu ada di dunia. Adam yang jadi manusia pertama hanyalah jiwa yang kesepian awalnya. Dimensi pandangannya mengenai cinta hanya tentang hubungannya dengan Tuhan, dan Tuhan dengan alam semesta serta penghuninya.

Adam merasakan gejolak luar biasa di hatinya. Itu gejolak hati paling pertama dalam sejarah kehidupan yang bukan main panjangnya ini. Ada panggilan dalam jiwanya seperti musafir di gurun yang mencari oasis.

Rupanya hati yang Tuhan beri sebagai atribut itu membuat ia merasa kesepian. Ia merasa kehidupan yang dijalaninya belumlah sempurna.

Surga di depan matanya tak serta-merta bisa membuat ia menafikan diri dari kenyataan bahwa ada yang kurang darinya. Bagaimana caranya ia memulai kehidupan dengan perasaan mengganjal itu. Hatinya siang dan malam melakukan panggilan yang amat banyak. Dan Tuhan mendengar suara hatinya.

Dari bagian dirinya Tuhan adakan Hawa, juga dengan hati dan pikiran. Tak cukup itu, Tuhan melengkapi dua manusia pertama ini dengan meniupkan cinta di masing-masing hati mereka. Di situlah kehidupan pertama kali dimulai. Ditandai dengan penyatuan dua insan yang mula-mula ini.

Cinta datang seperti keajaiban. Aku sampai lupa kapan ia pertama kali tercium. Hati yang sekian lama gersang itu tiba-tiba saja dibuat basah. Tuhan yang Maha Kuasa telah meniupkan rahmat hingga ke palung terdalam hati anak manusia.

Tidak ada zat yang bisa mengelaknya. Tak ada jiwa yang bisa menampiknya. Benar rupanya bahwa cinta adalah kepasrahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline