Lihat ke Halaman Asli

Ony Edyawaty

pembaca apa saja

Membangun Koneksi Episentrum Budaya Positif di Sekolah

Diperbarui: 27 Oktober 2021   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Sekolah adalah salah satu tempat ideal untuk menyemai nilai-nilai.  Meskipun nilai positif akan selalu berpasangan dengan dengan nilai negatif, namun sekolah dengan segala daya dukungnya harus memberi porsi lebih besar bagi pertumbuhan sisi positif.  

Maraknya kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat, bahkan dalam tubuh institusi-institusi formal negara, tentu saja membuat kita prihatin.    

Kejadian pemukulan seorang Kapolres di Kabupaten Nunukan, terhadap anak buahnya hanya karena kelalaian teknis membuat kita harus melakukan refleksi ulang terhadap pola Pendidikan Budaya Positif.  

Setelah kejadian itu, sang anak buah malah mengupload video permohonan maaf. Padahal dari sisi manapun peristiwa pemukulan merupakan sebuah praktik negatif yang sama sekali bertentangan dengan Budaya Positif.

Dalam tinjauan seorang Calon Guru Penggerak (CGP) yang telah melewati pembelajaran Modul 1.4. Budaya Positif, tindakan Kapolres tersebut tentu merupakan sebuah tindakan fatal yang membuatnya masuk dalam zona merah Posisi Kontrol.  

Tindakan yang lahir dari posisi kontrol Penghukum dan Pembuat Rasa Bersalah (dengan diuploadnya video permintaan maaf) adalah jenis tindakan yang mampu menorehkan luka di jiwa dan hati seseorang. 

Emosi negatif akan memenuhi alam bawah sadarnya dan berubah menjadi dendam yang siap disalurkan kemana saja.  Bisa saja Pak Kapolres tidak akan terkena dampaknya, namun pihak-pihak lain yang lemah dan berada di sekitar kehidupan sang anak buah, pasti akan terkena.  Bisa saja istrinya di rumah, anak-anaknya, atau anggota masyarakat sipil yang lemah tak bersenjata yang akan jadi sasarannya.

Peristiwa tersebut seolah adalah sebuah fenomena gunung es yang mengerikan.  Jauh di kedalaman sana, terdapat timbunan kekerasan yang begitu besar dan bersiap menyelinap permanen menjadi sebuah budaya.  

Tiada yang lebih menyedihkan selain menyaksikan kehidupan bermasyarakat yang mengadopsi hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang menang.  

Manusia sudah tidak lagi mempedulikan tatanan sosial dan kodrat kemanusiaannya, melainkan bagaimana caranya menyalurkan emosi negatif dengan menyakiti manusia lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline