Mohon tunggu...
Ony Edyawaty
Ony Edyawaty Mohon Tunggu... Guru - pembaca apa saja

hanya seorang yang telah pergi jauh dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Koneksi Episentrum Budaya Positif di Sekolah

27 Oktober 2021   22:17 Diperbarui: 27 Oktober 2021   22:32 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Sekolah adalah salah satu tempat ideal untuk menyemai nilai-nilai.  Meskipun nilai positif akan selalu berpasangan dengan dengan nilai negatif, namun sekolah dengan segala daya dukungnya harus memberi porsi lebih besar bagi pertumbuhan sisi positif.  

Maraknya kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat, bahkan dalam tubuh institusi-institusi formal negara, tentu saja membuat kita prihatin.    

Kejadian pemukulan seorang Kapolres di Kabupaten Nunukan, terhadap anak buahnya hanya karena kelalaian teknis membuat kita harus melakukan refleksi ulang terhadap pola Pendidikan Budaya Positif.  

Setelah kejadian itu, sang anak buah malah mengupload video permohonan maaf. Padahal dari sisi manapun peristiwa pemukulan merupakan sebuah praktik negatif yang sama sekali bertentangan dengan Budaya Positif.

Dalam tinjauan seorang Calon Guru Penggerak (CGP) yang telah melewati pembelajaran Modul 1.4. Budaya Positif, tindakan Kapolres tersebut tentu merupakan sebuah tindakan fatal yang membuatnya masuk dalam zona merah Posisi Kontrol.  

Tindakan yang lahir dari posisi kontrol Penghukum dan Pembuat Rasa Bersalah (dengan diuploadnya video permintaan maaf) adalah jenis tindakan yang mampu menorehkan luka di jiwa dan hati seseorang. 

Emosi negatif akan memenuhi alam bawah sadarnya dan berubah menjadi dendam yang siap disalurkan kemana saja.  Bisa saja Pak Kapolres tidak akan terkena dampaknya, namun pihak-pihak lain yang lemah dan berada di sekitar kehidupan sang anak buah, pasti akan terkena.  Bisa saja istrinya di rumah, anak-anaknya, atau anggota masyarakat sipil yang lemah tak bersenjata yang akan jadi sasarannya.

Peristiwa tersebut seolah adalah sebuah fenomena gunung es yang mengerikan.  Jauh di kedalaman sana, terdapat timbunan kekerasan yang begitu besar dan bersiap menyelinap permanen menjadi sebuah budaya.  

Tiada yang lebih menyedihkan selain menyaksikan kehidupan bermasyarakat yang mengadopsi hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang menang.  

Manusia sudah tidak lagi mempedulikan tatanan sosial dan kodrat kemanusiaannya, melainkan bagaimana caranya menyalurkan emosi negatif dengan menyakiti manusia lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun