Lihat ke Halaman Asli

Novita Sari

Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

Cerpen | Karena Mas Pono

Diperbarui: 22 April 2020   23:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar kartun tentara/id.lovepik.com

Lelaki itu mengenakan kemeja putih, berambut cepak dengan ransel hitam besar yang menggelendot di punggung. Sejak tadi tatapannya tak lepas dari jam tangan yang melingkar di pergelangan kiri nya. Entah apa yang ia gusarkan, barangkali ia tak benar-benar mengharapkan hujan ini turun. 2 orang lagi tampak asik dengan percakapannya. Aku duduk bersebelahan tak jauh dari mereka, dibawah kanopi bagian depan bangunan ini, kami menyelusup dalam ingatan masing-masing. 

Hari ini adalah hari terakhir ku berjumpa mas Pono, setidaknya ketika hujan ini belum turun. Tepat satu jam lalu, setelah aku mengecap pemandangan ganjil di bandara kota untuk menjemputnya pulang bertugas. Sebagai seorang prajurit negara, mas Pono sering mengorbankan waktu nya bersama keluarga. Pun bersama ku, kekasih nya sejak dua tahun lalu. Sejak mas Pono mengikuti pendidikan dasar calon militer, aku sudah was-was.  Pernah waktu itu, saat kami masih sama-sama di masa akhir sekolah menengah atas, kuutarakan ketakutan ku pada mas Pono. 

"Kau sudah pikirkan matang-matang, mas" jawabku setelah ia bercerita panjang lebar. "Iya dik, ini keinginan bapak sebelum dia meninggal" jawab mas Pono datar. Sejak saat itu aku tak pernah menanyakan lagi keinginan nya untuk menjadi prajurit negara. Aku yakin cinta mas Pono padaku tak kan luntur meski kami terpisah pulau.

Selesai SMA, aku melanjutkan pendidikan di sebuah Universitas swasta di kota ini. Mas Pono tentu saja telah masuk akademi militer, memang,  ia memiliki postur tubuh yang tegap dan berisi, ditambah dengan wajah yang cukup sangar kurasa memang cocok untuk itu. Ditambah lagi, almarhum ayah Mas Pono adalah seorang prajurit. Cukup sudah. Hari demi hari ku lewati tanpa mas Pono. 

Dulu, biasanya sehabis pulang sekolah, ia akan mengantarku pulang. Ibu sangat sayang pada mas Pono, tak perlu waktu lama bagi mereka untuk akrab layaknya anak dan ibu kandung. Namun, semenjak mas Pono mengikuti akademi militer, ia tak pernah lagi kerumah. Ibuku cukup paham, ia juga bangga dengan calon menantu nya yang seorang pelindung negara.  

Diam-diam aku merindukan mas Pono, sudah satu tahun kami tak bertemu. Aku ingin menyambut nya dengan suka cita. Telah aku persiapkan hadiah-hadiah kecil yang ku kumpulkan untuk memperingati hari ulang tahun dan perayaan hari jadi kami. Pun segala cerita tentang teman-teman sekolah dulu yang telah menikah, memiliki anak, bahkan mereka yang menjemput ajalnya lebih dulu. Berbagi cerita dengan mas Pono tentu akan mengasyikkan, pikirku. 

Baju terbaikku telah ku setrika sejak lama, sebuah gaun tosca dengan renda dibawah lutut. Tergantung rapi dalam lemari kaca dikamarku. Tentu saja, aku ingin mas Pono takjub melihatku esok hari,  setelah sekian lama kami tak bertemu. 

Matahari baru saja muncul dengan malu-malu, aku bergegas mandi. Mematut wajah pada cermin dan memoles nya dengan taburan bedak. Aku bertolak menggunakan sepeda motor matik yang biasa kutunggangi. Jalanan menuju bandara cukup ramai. Orang-orang berseliweran, kadang-kadang bunyi klakson memenuhi gendang telinga. Sesampainya di bandara, aku memarkirkan motor. Berjalan gontai sambil mematut wajah pada cermin kecil yang kusediakan dalam tas.  

Aroma kemesraan sangat dekat dengan hidungku. Aku membayangkan mas Pono akan bertambah cinta dalam pandangannya padaku. Bandara itu cukup ramai, beberapa anggota keluarga dari prajurit yang lain juga tampak memenuhi tempat penjemputan. Mata-mata mereka mawas dengan keadaan sekitar, seakan yang ditunggu telah berada didepan mereka.  

Hingga beberapa orang yang lewat, akhirnya aku menangkap wajah orang yang ku kenal hadir didepan mataku, Bik Sumi, saudara dekat mas Pono saat itu menjawil tanganku. Aku segera menoleh. Langit seperti runtuh di mataku, tak ada lagi matahari, orang-orang bersijingkat dengan kesibukannya sendiri, melihat dengan tatapan nanar dan pergi sejauh mungkin. Mas Pono saat itu mengenakan seragam hijau khas militer. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline