Lihat ke Halaman Asli

Novita Sari

Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

Cerpen | Pekyu

Diperbarui: 6 Januari 2020   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi daun kering. (sumber: pixabay.com)

Perempuan itu duduk bersila, tangan kanannya menghitung bebatuan kerikil yang ia congkel dari aspal jalan yang sudah berlubang. Ia mengenakan jaket hitam putih kusut dengan kaus merah pudar didadanya dengan celana dasar hitam yang digunting tidak beraturan menutupi pahanya yang kecoklatan.

Jika kau mendekat, akan tampak daki-daki kering yang membentuk bulatan-bulatan di tangan, sela-sela jari hingga tengkuk lehernya. Sesekali ia menggaruk kepala, kutu-kutu rambut mulai dari tinap, telur hingga induknya beranak pinak diatas kepalanya.

Pekyu orang memanggilnya. Tinggal di rumah panggung didekat aliran sungai Batanghari, kadang-kadang ia biasa dijumpai di dekat sungai, didepan rumah atau menjejal bagian bawah rumahnya. Hanya beberapa hari ini ia terlihat duduk santai di setapak jalan ini. orang-orang kampung memang sudah paham dengan tingkah lakunya.

Bapaknya, Ripin seorang guru ngaji tua yang sehari-hari mengambil air nira untuk membuat gula aren. Kadang juga menjual air nira itu pada seorang batak yang datang kerumahnya. Ibunya, Nurma telah lebih dulu terbaring di tanah sejak setahun yang lalu.

Semula tak ada yang aneh pada perempuan itu. Dulu ia bersekolah di sekolah dasar yang tak jauh dari rumahnya, berangkat pagi-pagi sekali mengenakan tas dukung berwarna merah muda bergambar princes seperti kebanyakan anak perempuan.

Hanya saja, tubuh Pekyu jauh lebih besar dari anak-anak yang lain. Ini semua karena ia acap kali tidak naik kelas. Dalam hal belajar ia terbilang lebih lambat menangkap dari teman-temannya yang lain. Hal ini pulalah yang membuat ia sering diejek oleh teman sekelasnya, ditertawakan, bahkan dijauhi.

Pernah ia berteman dengan anak laki-laki, ikut bermain bola di lapangan dekat tepian sungai Batanghari. Ketika teman-temannya beramai-ramai membuka baju, pekyu juga demikian. Ia mengikuti tanpa beban, bebas seperti anak laki-laki lainnya.

Bahkan ketika beberapa teman laki-lakinya mengelus-elus bagian tubuhnya, ia hanya cekikikan. Sebuah permainan yang belum pernah ia lakukan bersama teman-teman perempuannya.

Tapi itu sudah berlalu, Pekyu telah beranjak remaja. Ia tak menyelesaikan sekolahnya. Ia memang dinilai berbeda oleh para guru, perkembangan pembelajarannya pun tak banyak berubah. Tingkahnya masih saja seperti anak kecil, meskipun tubuhnya sama sekali tidak menerangkan hal itu.

Beberapa orang yang lewat di jalan setapak itu memincingkan mata, ada juga yang sengaja mempercepat laju kendaraannya. Hampir tiap mereka yang lewat disapa oleh Pekyu.

Saat mulutnya terbuka lebar, tampak jelas kerak kuning di giginya membeku membentuk karang-karang dibawah gusi yang menghitam dengan guratkan urat-urat halus berwarna hijau dan kemerahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline