Lihat ke Halaman Asli

Novita Sari

Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

Cerpen | Perempuan yang Lahir dari Kelopak Mawar

Diperbarui: 24 Desember 2019   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Jenő Szabó dari Pixabay

Aku adalah perempuan yang terlahir dari bunga mawar, lewat kelopak merah yang mekar satu persatu saat musim bunga. Semilir angin kebebasan menyambutku saat lahir, di atas puncak gunung tujuh, di sudut bagian danau yang hijau.

Semua tumbuhan dan hewan berkaca-kaca menyaksikan kelahiranku. Hingga edelweis menerbangkan bagian-bagian dirinya, menyentuh wajah putih kemerahan dengan dua tangan dan kaki yang menerjang kehampaan.

Suaraku adalah suara alam. Kecipak air yang yang jernih, bunyi hewan-hewan kecil khas pedesaan, dan burung hantu di malam hari. Bau tubuhku adalah air mawar, mengetuk hidung siapa saja yang lewat. Kulitku putih kemerahan seperti buah pinang setengah masak.

Hari-hariku diisi dengan perjalanan turun-naik gunung, menangkap belalang, kupu-kupu dan memetik buah yang tumbuh liar hingga menyaksikan matahari terbenam di bagian bumi paling bahagia. Teman-temanku berbagai macam hewan, burung, pohon-pohon rindang, batu-batu antik dan air sejuk yang mengalir. 

Aku terus bertumbuh, menjadi perempuan remaja yang rambutnya memanjang. Kakiku jenjang, putih dan mulus. Pepohonan dengan senang hati menurunkan daunnya untuk kujahit menjadi pakaian yang menutup tubuhku dari kedinginan. Melindunginya dari terik matahari siang dan membuatku lebih menyatu bersama alam.

Memang, mengasyikkan hidup seperti ini. hidup seperti alam itu sendiri. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini, aku kerap didatangi rasa bosan. Seperti ada bagian diriku yang belum aku temukan.

Aku mulai memahami, beberapa teman-temanku perlahan berubah, mencari penghidupan di tempat yang lebih jauh, di tanah yang belum sempat aku injak. Betapa luas tempat ini, mengapa pula aku tak mencoba bepergian seperti teman-temanku.

Kuamati diriku sendiri. Jari-jari panjang yang lentik, tidak bersayap. Kenapa teman-temanku punya sayap? Kenapa aku tidak? Bukankah akan lebih baik jika aku punya sayap.

Pertanyaan-pertanyaan itu kusimpan sendiri. Sambil memperhatikan air yang mengalir, yang tak pernah berhenti barang sejenak. Hidup barangkali juga pengulangan sesuatu yang membosankan. Dilakukan untuk sekedar bertahan, bukan karena kita benar-benar menginginkannya. 

Aku hampir lupa, ibuku sang mawar merah berduri. Sudah lama meranggas, begitu pula ayahku. Seekor kumbang jantan perkasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline