Lihat ke Halaman Asli

Hiperreallitas dan Kekerasan Simbolik Media dalam Kancah Perpolitikan

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Tulisan pertama dari dua tulisan)

Abstraksi

Media, hari ini, seakan menjadi menu wajib bagi mereka yang tidak ingin tertinggal dalam berbagai bidang, termasuk juga didalamnya adalah bidang politik. Karena secara faktual, ranah pergerakan perpolitikan bisa bergeser bahkan dalam hitungan detik. Elit politikpun menyadari bahwa peran media tidak bisa dianggap kecil akan eksistensi ruang aktualisasi mereka. Sehingga berbagai cara akan ditempuh oleh para elit politik maupun pemegang kepentingan untuk menguasai media. Hiperrealitas dan kekerasan simbolik merupakan menu sehari-hari yang diterima publik ketika media telah terkotori oleh kepentingan-kepentingan tersebut. Fungsi media sebagai pilar keempat demokrasi akhirnya menjadi harapan semu rakyat, karena media telah sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Abad informasi, begitulah banyak orang mengatakannya ketika abad-abad industrialisasi telah bergeser. Centang perenang akan arus informasi seolah mengalir tanpa ada sekat yang mampu menghalanginya. Informasi dari belahan dunia manapun dapat kita akses secara cepat, apalagi ketika internet ditemukan pada akhir dekade 70-an. Sehingga bagi siapapun yang tidak mengetahui informasi terbaru seolah telah ketinggalan satu langkah dengan mereka yang telah mengetahui informasi.

Dalam tataran realita, media saat pemerintahan Orde Baru lebih merupakan “kepanjangan tangan” dari sekumpulan kepentingan penguasa. Alih-alih menggunakan media sebagai tonggak demokrasi, media malah digunakan pemerintah sebagai alat untul menghegemoni warganya sendiri. Bahasa politik bermakna ganda untuk tujuan penghalusan ketika penguasa ingin melakukan hegemoni dan memperkuat posisi pemerintah dalam menjalankan “otoritasnya”. Tetapi akhirnya lambat laun seiring berjalannya waktu, resistensi politik rakyat yang telah sekian lama dikebiri akhirnya mampu menumbangkan rezim Orde Baru dengan segala kediktatoran yang dibawanya. Seiring tumbangnya Orde Baru, mediapun banyak bermunculan untuk mencoba memberi ruang publik bagi rakyat yang telah sekian lama terkebiri haknya karena adanya tangan besi dari pemerintahan Orde Baru.

Menjamurnya media massa seiring adanya kebijakan kebebasan informasi yang dikeluarkan oleh Presiden BJ Habibie, bukan berarti tanpa masalah, meskipun itu merupakan salah satu indikasi menguatnya demokratisasi yang ada di Indonesia. Sistem perpolitikan Indonesia yang berada pada pusaran arus globalisasi terpaksa menempatkan media sebagai kekuatan kapitalisme yang berwajah monolitik, sehingga seluruh ekspresi kebudayaan sangat tergantung dengan apa yang namanya pasar dan lebih parahnya media tidak berfungsi sebagai representasi maupun rekonstruksi kondisi sosial politik masyarakat.

Terkait dengan pemilihan umum kepala daerah tingkat satu yang  digelar di Jawa Timur pada 23 Juli 2008, peran media massa –baik cetak maupun elektronik- tidak bisa dianggap remeh. Sosialisasi aturan main pesta demokrasi ini mulai dari hulu hingga hilir telah banyak melibatkan media massa, baik cetak maupun elektronik. Tidak terlepas juga peran serta partai politik dalam mensosialisasikan aturan main-aturan main tersebut. Salah satu peran partai politik adalah sebagai media sosialisasi politik (instrumen of political socialization). Lihat saja surat kabar-surat kabar hari ini yang tengah begitu gencar menyosialisasikan visi-misi para kandidat gubernur dan wakil gubernur yang merupakan salah satu bentuk media kampanye efektif yang diterapkan para kandidat dalam usahanya merebut simpati rakyat, semisal Jawa Pos, Kompas, Surya.

Tetapi alih-alih media massa menyajikan porsi yang berimbang terhadap semua calon, yang terjadi media malah “bermain” dalam arus perpolitikan ini. Lihat saja kecenderungan-kecenderungan pemberitaan beberapa media terhadap para kandidat, meskipun tidak semuanya. Setidaknya ada tiga cagub dan cawagub yang telah memanfaatkan media sebagai ajang kampanye mereka, diantaranya adalah Jawa Pos Group dengan KarSa-nya (Karwo – Saifullah Yusuf), Khofifah Indar Parawansa – Brigjend Inf Mudjiono dengan Kompas-nya, Sutjipto – Ridlwan Hisyam dengan Malang Posnya. Artinya media massa mempunyai kepentingan terhadap pemuatan berita-berita tersebut, entah itu kepentingan pasar maupun kepentingan pada wilayah lain. Ketika media bertindak seperti ini artinya fungsi media telah sengaja dibelokkan oleh kepentingan swasta dan menjadi ajang obral janji dari para calon.

PENGABURAN FUNGSI MEDIA

Penyampaian informasi yang benar merupakan salah satu tujuan adanya media massa. Realitas mencatat bahwa setidak-tidaknya ada dua kepentingan hingga akhirnya media hadir ditengah masyarakat, yang pertama adalah kepentingan ekonomi dan selanjutnya adalah kepentingan kekuasaan, yang membentuk isi media, informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Kehadiran media sebagai salah satu public sphere ternyata terabaiakan dengan adanya dua kepentingan yang lebih dominan diatas. Dari kepentingan ekonomi dan penguasaan inilah kemudian media kurang dapat berlaku netral, jujur, adil, objektif dan terbuka dalam menyajikan berita maupun opini.

Ketika kemudian yang menjadi landasan gerak media hanya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik maka informasi yang disampaikanpun mengandung paradoksitas, antara kebenaran atau kebenaran palsu, objektivitas dalam penyampaian atau malah subjektivitas yang lebih dominan, bersifat netral atau berpihak, menyajikan realitas atau mensimulasi realitas. Di lain sisi ketika media menjadi alat politik kekuasaan oleh sebuah sistem, maka tidak lain media tersebut telah menjadi perpanjangan tangan dari penguasa, seperti yang terjadi saat Orde Baru masih berkuasa. Selanjutnya ketika media massa sarat dengan kepentingan ekonomi, media massa tidak ubahnya seperti media promosi yang hanya berusaha untuk mengeksploitasi publik dalam rangka untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, dan ini merupakan prinsip dasar dari kapitalisme.

Media merupakan cerminan realitas dari konstruksi masyarakat, sehingga apa yang ditulis oleh media dianggap masyarakat sebagai sebuah kebenaran yang faktual. Masyarakat seharusnya menyadari juga bahwa dalam media ternyata juga terdapat tarik ulur terhadap bahasa yang digunakan, ideologi yang dipakai sebagai landasan dan juga kekuasaan yang bermain dibaliknya. Sehingga dari semua itu, kemana arah perkembangan media akan diproduksi dan ditentukan sudah dirancang oleh pemegang kepentingan.

Hiperrealitas, seperti yang pernah diugkapkan oleh Jean Baudrillard, semakin berkembang dalam dunia media ketika media dikuasai oleh dua kepentingan tersebut, yakni kepentingan ekonomi dan politik. Informasi yang benar, objektif, keadilan terdistorsi dengan bahasa-bahasa yang absurd, subjektif, kesemuan yang penuh dengan permainan bahasa. Akhirnya media terperangkap dalam politisasi media dan hiperealisasi media yang tidak menguntungkan publik (politics of significfation).

Abad 21 merupakan abad informasi yang mana media merupakan alat hegemoni, seperti yang pernah diungkapkan oleh Antonio Gramsci, yang sangat sentral perannya dalam prosesnya menghegemoni publik. Titik akses yang luas dan terbuka menyebebkan media mudah sekali menjadi alat penguasa untuk menghegemoni publik. Alat hegemoni diatas –media massa- ketika dikombinasikan dan digunakan oleh kelas dominan tertentu, akan membentuk apa yang disebut Gramsci sebagai struktur ideologi dari sebuah kelas dominan.

Sedangkan Louis Althusser mengembangkan konsep alat ideologi negara (ideological state aparatus),yang mana konsep ini hampir sama dengan konsep hegemoninya Gramsci. Ideological state aoparatus ini berfungsi sebagai alat penanaman ideologi keapada masyarakat secara luas melalui proses interplasi melalui berbagai aparatus, seperti rumah ibadah, sekolah dan juga termasuk didalamnya adalah media massa.

Menurut Gramsci, media massa bukanlah aparatus hegemonis yang bersifat pasif yang hanya menjadi kendaraan politik bagi kelompok yang dominan (penguasa). Akan tetapi media massa juga membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang bahasa atau simbol dalam usahanya untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan ideologis yang diperjuangkan, sehingga proses saling menghegemoni antara dua kekuatan tersebut tidak akan pernah usai.

Tetapi meskipun demikian, usaha perebutan hegemoni secara demokratis, dalam hal ini lewat media, menurut Antonio Gramsci, dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang sangat sulit untuk terwujud. Kekerasan-kekerasan, setidaknya kekerasan simbolik, selalu menghiasi pertarungan-pertarungan hegemoni antara kelompok superordinat dengan kelompok subordinat. Berbagai bentuk kekerasan seperti inilah yang justru kemudian mejadi peroalan ideologis media yang dominan dewasa ini.

Peran bahasa, simbol dan tanda-tanda dalam usahanya menghegemoni dan meraih simpati publik sangatlah penting. Hegemoni, terutama di tengah masyarakat informasi saat ini, sangat mengandalkan kekuatan bahasa dan simbol dalam usahanya meraih simpati publik terhadap sebuah kepentingan yang ditawarkan.

Dalam wilayah lain, seringkali media-media politik ketika merepresentasikan usahanya menggunakan iklan-iklan seperti iklan komersial, lihat saja iklan pencitraan diri Soetrisno Bachir yang ada di bebarapa stasiun televisi terkait peringatan seabad hari kebangkitan nasional yang merupakan salah satu representasi hiperrealitas media saat ini. Dan kemudian babak baru hiperrealitas, seperti yang pernah diungkapkan oleh Jean Baudrillard, segera dimulai. Masyarakat dicekoki dengan realitas-realitas semu tanpa tahu mana realitas yang terjadi sesungguhnya, dan kemudian kulit menjadi lebih penting daripada isi. Inilah realitas yang terjadi saat ini di Indonesia dan bahkan dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline