Lihat ke Halaman Asli

Nurul Muslimin

TERVERIFIKASI

Orang Biasa yang setia pada proses.

Ini yang Mestinya dilakukan Pemerintah dalam Dunia Film (Bagian #1)

Diperbarui: 16 September 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: http://ruangberkah.blogspot.co.id

Sedikit ilustrasi sebelum kita bahas tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam dunia film. Betapa sangat berpengaruhnya film terhadap perilaku masyarakat, terutama anak-anak sebagai generasi muda kita. Tak jarang kita membaca atau melihat berita, terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja, bahkan oleh orang dewasa karena telah menonton dan terpengaruh oleh adegan atau cerita dalam film.

Film bisa menjadi senjata yang cukup 'mematikan', meski secara perlahan. Oleh mereka (bangsa) yang cerdik dan sekaligus jahat, film menjadi salah satu medium untuk merusak karakter bangsa lain. Film bisa menjadi salah satu media yang sekarang banyak disebut sebagai proxi-war. Karena kerusakan yang ditimbulkan bisa bersifat massive. Sebuah peperangan yang dilakukan oleh dua atau lebih negara dengan menggunakan pihak ketiga untuk menghancurkan lawan.  Karena film (di tangan penjahat) bisa menjadi alat propaganda politik, pemecah belah persatuan bangsa dan penggeser paradigma ideologi sebuah bangsa.

Sebaliknya, film di tangan orang baik juga bisa bermanfaat. Artinya, film bisa pula menginspirasi perilaku masyarakat untuk bertindak atau berperilaku dalam kebaikan. Ketika film telah menjadi 'senjata', maka efek dari 'senjata' itu adalah siapa yang ada di balik senjata itu. Bisa bernilai positif atau negatif. Banyak orang menyebut istilah ini dengan : "The man behind the gun".

Dalam tulisan Natashya Julian di Kompasiana menyebutkan, bahwa Joko Anwar, sutradara film Janji Joni (2005) pernah mengatakan bahwa "Film adalah bagian penting dalam hidup manusia." Julian menambahkan, bahwa industri perfilman bisa menjadi lahan potensial dalam memajukan bangsa kita baik dalam segi perekonomian, ilmu pengetahuan, dan bahkan menjadi salah satu medium untuk melestarikan budaya Indonesia. Nah,jelas kan, bukan hanya hiburan? Maka secara pribadi saya mengapresiasi pada bangsa kita sebagai bangsa Timur yang berusaha membentengi dari pengaruh negatif tersebut, dengan munculnya undang-undang tentang perfilman (Undang-undang No. 8 Tahun 1992). Munculnya undang-undang ini saya nggak melihat ada greget yang cukup menukik perhatian pemerintah dalam duni perfilman. Hanya aturan normatif saja yang tertuang di dalamnya. Maka munculnya UU No. 33 Tahun 2009, aturan main (rule of the game)-nya saya lihat semakin jelas dan tegas. Meskipun ada beberapa pasal yang multi interpretative dan debatable.

Mengapa bab ini saya tulis secara khusus? Sebenarnya semata-mata agar kita, baik masyarakat secara umum maupun masyarakat perfilman membuka mata dan sedikit cermat dalam melihat peta permasalahan apapun yang terjadi dalam dunia perfilman kita. Sehingga kita akan lebih bijak dalam menentukan sikap, kepada siapa kritik kita tujukan. Karena, belum tentu ketika dunia perfilman mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran, adalah kesalahan dari pemerintah, DPR, atau undang-undang yang dihasilkan. Bisa jadi masyarakat perfilman sendiri yang kurang merespons terhadap sistem yang ada. Atau sistemnya yang kliru? Atau sebaliknya, pemerintah yang kurang greget dalam melaksanakan undang-undang? Atau, apa?

Tulisan ini spesifik untuk mencermati peran pemerintah dalam dunia film, maka paling enak untuk melihat apa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melihat undang-undangnya. Menurutku --secara esensial-- undang-undang merupakan komitmen pemerintah bersama wakil rakyat (DPR) dalam 'melayani' atau mensejahterakan rakyatnya. Mengapa demikian? Karena pemerintah sebagai eksekutor program, apapun yang dilakukan harus sesuai dengan undang-undang. Ini sudah menjadi 'aturan main' dalam dunia pemerintahan kita. Keluar dari aturan itu? Jelas akan melanggar konstitusi. Jadi menurutku tidak elok untuk menyalahkan pemerintah atau DPR secara an-sich, jika apa yang kita harapkan tidak tercantum dalam undang-undang. Artinya, semua akan sia-sia jika kita menuntut kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu (dalam bidang film), sedang hal itu tidak ada dalam undang-undang yang mengaturnya. Atau jika undang-undangnya nggak sesuai dengan kebutuhan masyarakat (karena kapasitas pembuatnya kurang berkompeten), gimana eksekusinya? Ya, kan?!

Udah, itu dulu prolognya. Sekarang kita cermati undang-undangnya yaa...  Nilai-nilai Normatif secara umum kewajiban Pemerintah terhadap Dunia Perfilman tercantum dalam konsideran Undang-undang No. 33 Tahun 2009 disebutkan: 

1. bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional dan karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman.

2. bahwa film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana  promosi Indonesia di dunia internasional, sehingga film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi;

3. bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia;

4. bahwa upaya memajukan perfilman Indonesia harus sejalan dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline