Kepergian Almarhum BJ Habibie untuk selama-lamanya, menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Betapa tidak. Semasa hidupnya Presiden ke 3 RI ini dikenal sebagai seorang negarawan sejati, genius, agamais, nasionalis dan segudang karakter lain yang melekat padanya. Sesuai dengan prestasi kerjanya dalam membangun negeri ini.
Karyanya yang paling mendunia adalah bidang kedirgantaraan. Tak heran, ucapan berduka cita atas meninggalnya beliau mengalir dari beberapa pemimpin negara di dunia.
Lalu bagaimana pandangan masyarakat akar rumput terhadap Bapak kelahiran Parepare ini. Berikut secuil gambarannya.
Khusus bagi orang awam di daerah saya, nama BJ Habibie selalu identik dengan kapal terbang. Kesan ini berawal dari pertama tersiarnya informasi, bahwa Indonesia telah memiliki industri pesawat terbang yang bernama Nurtanio. Sekarang IPT-Nusantara/IPTN/PT Dirgantara Indonesia. (wikipedia.org).
Disebutkan pula Nurtanio asli karya putra bangsa paling pintar se Indonesia bernama Habibie. Kalau tak salah ingat, kabar ini berkembang sekitar tahun 1978.
Begitu populernya suami Hasri Ainun Besari ini pada zaman itu. Setiap namanya desebut, hampir dipastikan yang terlintas di benak masyarakat adalah kata "cerdas" dan "pesawat terbang".
Padahal, jangankan orangnya foto yang menampilkan wajah Habibie pun belum tentu pernah mereka lihat. Kecuali anak sekolahan yang dapat menyaksikannya dalam gambar pada buku.
Saking ngfensnya, banyak orang tua yang menamakan bayinya Habibi. Alasannya simple. "Habibi itu bahasa Arab. Artinya kekasihku. Kami berharap apa bila kelak putra kami ini besar, dia menjadi kekasih Tuhan, disayangi orang banyak. Dan tumbuh menjadi anak cerdas seperti Habibie. Sebab, nama itu adalah doa?" Argumen yang masuk akal.
Jempolan buat mereka. Era gelap yang nyaris belum tersentuh cahaya informasi, ada pribadi yang berpikir pengen anaknya cerdas seperti Habibie. Padahal semasa itu komunikasi belum lancar seperti sekarang.
Kami (saya dan warga setempat) tak tahu bagaimana bentuknya HP. Belum kenal seperti apa televisi. Apalagi dunia misterius yang bernama internet. Surat kabar dan majalah cuma sebatas ibu kota kabupaten, yang jaraknya 15 kolometer. Biasa ditempuh dengan sepeda atau jeep treler (jika kebetulan ada). Bahkan saya dan suami pernah pergi ke kota dengan berjalan kaki.
Sumber informasi berbasis elektronik satu-satunya adalah radio. Itu pun tidak semua orang memilikinya.