Di tengah derasnya arus digital, anak-anak sekolah dasar kini lebih banyak berinteraksi dengan layar gawai dibandingkan dengan buku. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan, karena membaca sejatinya bukan sekadar kegiatan mengisi waktu, melainkan fondasi dari kemampuan belajar. Tulisan ini mengulas bagaimana kebiasaan literasi dapat tetap tumbuh di era digital melalui sinergi antara sekolah, keluarga, dan lingkungan.
Hari ini, kita sering menemukan anak-anak sekolah dasar yang begitu fasih memainkan gawai. Mereka dapat dengan mudah membuka aplikasi, menonton video, atau memainkan gim. Namun ketika diminta membaca buku, banyak yang tampak enggan. Pertanyaan sederhana pun muncul: apakah buku masih memiliki ruang di hati anak-anak kita?
Padahal, membaca adalah keterampilan dasar yang menentukan keberhasilan di sekolah maupun di luar sekolah. Kemampuan memahami teks bukan hanya soal nilai rapor, tetapi juga berhubungan dengan kemampuan berpikir kritis, daya imajinasi, dan keterampilan memecahkan masalah.
Menurut UNESCO,"literacy is a fundamental human right for all" literasi adalah hak asasi setiap manusia dan dasar bagi pembelajaran sepanjang hayat. Artinya, minat baca anak bukan hanya soal kebiasaan, tetapi juga bagian dari hak pendidikan yang perlu dijaga bersama.
Program Literasi Sekolah sebenarnya hadir sebagai salah satu jawaban atas tantangan ini. Membaca 15 menit sebelum pelajaran, menghadirkan pojok baca, hingga kegiatan mendongeng merupakan upaya sederhana namun bermakna. Pembiasaan kecil seperti ini sering kali menjadi pintu masuk efektif dalam menumbuhkan budaya membaca.
Namun, literasi tidak bisa hanya diletakkan di pundak sekolah. Keluarga memegang peranan penting. Anak akan lebih mudah menumbuhkan minat baca jika melihat orang tuanya menikmati buku, atau ketika buku hadir di rumah sebagai bagian dari keseharian. Demikian pula lingkungan sekitar yang bisa menghidupkan tradisi bercerita, membaca bersama, atau menghadirkan ruang publik yang ramah literasi.
UNESCO dalam Global Education Monitoring Report juga menegaskan bahwa kemajuan literasi sangat dipengaruhi oleh dukungan sosial dan budaya yang menumbuhkan minat membaca. Dengan kata lain, ekosistem literasi yang baik harus dibangun bersama oleh sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Tantangan terbesar kita bukanlah melarang anak berinteraksi dengan teknologi, melainkan menghadirkan keseimbangan. Layar memang memberi hiburan cepat, tetapi buku menawarkan kedalaman makna dan ruang bagi renungan.
Jika hari ini anak-anak SD lebih akrab dengan layar daripada buku, itu adalah tanda bagi kita semua untuk bergerak. Buku tidak boleh ditinggalkan hanya karena teknologi hadir. Keduanya seharusnya berjalan beriringan: gawai memperluas akses, buku memperdalam makna.
Dan mungkin, pertanyaan yang pantas kita simpan adalah: maukah kita membiarkan generasi mendatang tumbuh dalam kedangkalan layar, tanpa pernah menyelami samudra pengetahuan dari sebuah buku?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI