Pagi ini ada bazar perayaan 17 Agustus di kompleks. Tidak seramai tahun lalu, tapi tetap meriah dan memancarkan semangat nasionalisme. Meski penghuninya terdiri dari berbagai latar belakang---Jawa, Tionghoa, Batak, dan lain-lain---semua melebur dalam suasana kebersamaan.
Menjelang siang, ketika acara hampir usai, aku dan dua temanku menunggu pembagian kupon undian berhadiah. Kami berteduh di bawah pohon, beralaskan batu paving. Di situlah sebuah percakapan singkat membuatku merenung dalam.
Sebelah kiriku duduk teman SMP yang mengklaimku sebagai salah satu bestie-nya. Sebelah kanan, seorang teman baru yang sering kutemui di beberapa acara kompleks. Obrolan dimulai dengan pertanyaan yang terdengar sederhana, tapi bagi beberapa orang bisa jadi cukup sensitif.
"Mbak, putranya berapa?" tanyanya tiba-tiba.
"Dua," jawabku singkat.
"Wah, enak ya?"
"Kenapa?" aku balik bertanya.
"Aku satu aja belum dikasih..." suaranya pelan, sedikit getir.
Aku terdiam. Bingung harus menanggapi apa. Lebih-lebih ia tak tahu bahwa teman di sebelah kiriku sedang menanggung beban yang lebih berat: masih single, dan rahimnya sudah diangkat.
Akhirnya aku menarik napas. "Gak usah galau. Beberapa temanku baru dikasih setelah menunggu sebelas tahun. Jangan dengarkan komentar orang. Percayalah, semua ada waktunya."
Dia menghela napas. "Iya... kadang orang bilang macem-macem. Katanya kualitas aku jelek, katanya ini-itu... bikin sakit hati."
Aku tersenyum. "Percaya aja sama Sang Sutradara. Kita dikasih peran apa, syukuri. Kalau mau bahagia, ganti circle. Jangan biarkan orang toxic jadi penulis naskah hidup kita."
Sebelah kiriku terdiam, menyimak dengan wajah serius. Aku tahu, hatinya mungkin ikut tercubit. Dalam hati aku berbisik: Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini. Engkau sudah memberiku nikmat luar biasa: peran sebagai perempuan sempurna. Nikmat mana lagi yang hamba dustakan?
Dari panggung, MC sibuk membacakan nomor undian. Suara sorak-sorai terdengar riang. Tapi kepalaku justru dipenuhi renungan: negeri ini memang telah merdeka dari penjajahan asing, tapi perempuan masih sering terpenjara oleh standar sosial. Status pernikahan, kemampuan melahirkan, jumlah anak---semuanya dijadikan tolok ukur. Yang lebih menyakitkan, seringkali sesama perempuanlah yang menjadi hakim paling kejam.
Ini momen perayaan kemerdekaan , tapi justru aku merasa sedang belajar arti kemerdekaan yang lebih dalam. Merdeka bukan hanya soal bebas dari penjajah, tapi juga bebas dari pikiran-pikiran yang menjerat hati kita sendiri. Merdeka bukan hanya urusan bangsa, tapi juga urusan hati. Merdeka dari rasa iri, dari rasa kurang, dari belenggu kata-kata yang seringkali lebih menyakitkan daripada senjata.
Hari itu aku pulang tanpa membawa hadiah undian. Namun aku membawa sesuatu yang jauh lebih berharga: kesadaran untuk selalu bersyukur atas peran yang dituliskan untuk kita.
Kadang, merdeka juga berarti menerima hidup apa adanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI