Sekolah Gratis untuk Anak Miskin, Siapa yang Tak Setuju?
Pemerintah melalui Kementerian Sosial meluncurkan program Sekolah Rakyat, sebuah sekolah berasrama yang memberikan pendidikan gratis lengkap dengan makan, tempat tinggal, dan bimbingan keterampilan hidup untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem.
Tujuan program ini terdengar sangat mulia, agar anak-anak dari keluarga prasejahtera tidak putus sekolah dan tetap bisa bermimpi besar. Dalam beberapa waktu, program ini telah berjalan di puluhan lokasi dan menyasar mereka yang selama ini sulit mengakses pendidikan formal secara layak.
Tapi di balik itu, muncul pertanyaan: apakah program ini benar-benar solusi atas ketimpangan? Atau malah mempertegas batas antara si miskin dan si mampu?
Saat Pendidikan Malah Memisahkan
Beberapa pemerhati pendidikan mulai bersuara. Salah satunya adalah Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, yang mengingatkan bahwa mengumpulkan anak-anak miskin dalam satu sistem pendidikan yang terpisah bisa menimbulkan masalah jangka panjang.
Menurutnya, program ini bisa menjadi bentuk pemisahan sosial dalam sistem pendidikan. Anak-anak dari keluarga miskin akan belajar dan tumbuh di lingkungan yang homogen, tanpa interaksi dengan kelompok lain.
Hal ini bisa menimbulkan stigma dan rasa minder, karena mereka tahu bahwa sekolah itu khusus "untuk orang miskin".
Bayangkan jika seorang anak tahu bahwa ia "disekolahkan" di tempat berbeda hanya karena orang tuanya tidak mampu. Bukankah itu justru memperkuat perasaan tertinggal sejak dini?
Pendidikan Itu Harusnya Menyatukan
Seharusnya, sekolah menjadi tempat semua anak dari berbagai latar belakang bisa belajar bersama, saling mengenal, dan tumbuh tanpa diskriminasi.