Lihat ke Halaman Asli

Nastiti Cahyono

karyawan swasta

Terus Kampanyekan Perdamaian di Media Sosial

Diperbarui: 2 Februari 2019   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media Sosial - jurnalapps.co.id

Sebentar lagi, Indonesia akan melakukan pemilihan umum untuk menentukan pasangan capres dan cawapres, serta pemilihan calon anggota legislative. Dan saat ini, para calon pemimpin negeri ini diberi kesempatan untuk melakukan kampanye, mempresentasikan visi misi serta program kedepan.

Debat pertama telah dilakukan dan sebentar lagi akan memasuki debat kedua. Media sosial juga banyak digunakan pasangan calon dan tim pendukungnya, untuk melakukan kampanye dan maraup dukungan publik.

Namun apa yang terjadi? Adu gagasan yang semestinya terjadi pada saat kampanye, ternyata justru diganti dengan adu cacian dan makian antar pendukung paslon.

Ironisnya lagi, adu caci maki itu terjadi di media sosial, yang banyak digandrungi generasi milenial saat ini. Media sosial yang tadinya menjadi tempat untuk saling berinteraksi, saling bertukar ide dan gagasan, berubah menjadi tempat untuk ajang mencari kesalahan.

Usai debat pertama kemarin, media sosial langsung berubah menjadi ajang penghakiman. Sebenarnya, saling kritik di media sosial tidak masalah. Bisa jadi hal itu sangat diperlukan, agar ada proses interaksi dan saling belajar diantara masyarakat. Dalam konteks demokrasi, hal itu juga akan mendewasakan demokrasi itu sendiri.

Sayangnya, media kuatnya kepentingan oknum yang ingin menang dengan cara yang tidak baik, serta masih kuatnya propaganda kelompok radikal di dunia maya, membuat media sosial menjadi tempat berkumpulnya informasi bohong dan ujaran kebencian.

Yang lebih ironis, merebaknya hoax dan kebencian tersebut karena adanya permintaan dari oknum tertentu. Munculnya Saracen dan MCA merupakan bukti, bahwa organisasi itu ada karen memang ada permintaan sehingga mereka bisa mendapatkan sejumlah keuntungan.
Sebagai generasi milenial yang hidup di era 

teknologi informasi begitu canggih, semestinya kita tidak boleh tinggal diam saja. Karena jika generasi milenial hanya diam, maka pesan kebencian dan hoax tersebut akan terus mempengaruhi logika.

Jika hoax dan kebencian dibiarkan, akan memicu munculnya bibit intoleransi dan radikalisme. Dan jika intoleransi dan radikalisme terus menguat di media sosial, bibit terorisme juga akan ikut menguat. Dan jika bibit terorisme itu menguat, maka hancurlah bangunan toleransi dan kerukunan antar umat yang selama ini kita bangun. 

Karena kelompok radikal tidak menginginkan yang namanya keberagaman seperti yang ada di Indonesia. Untuk itulah menebar pesan damai di era milenial ini merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan.

Mari kita terus kampanyekan perdamaian dengan berbagai macam cara. Jika kampanye saat ini tidak digunakan oleh elit politik untuk memberikan pendidikan politik, mari kita berikan pendidikan politik yang benar melalui penyebaran pesan perdamaian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline