Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Metazoa (2) #3

Diperbarui: 9 September 2020   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Cerita ini merupakan bagian kedua dari fragmen ketiga dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka secara lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

*** 

Fragmen 3. Metazoa (2)

Berjalan gontai, perempuan muda berkerudung hitam menatap nanar taman kota di seberang jalan. Tiga mawar merah tergenggam di tangannya. Tanpa ia sadari, tangkai bunga itu ikut memerah, berlumur darah. 

Genggamannya kelewat kuat, membuat duri menusuk terlalu dalam. Kesadarannya terlampau pudar.

Di ujung mata, taman kota tidak pantas lagi menyandang nama. Tanah jingga serupa senja menimbun semak. Serumpun daun pandan berlumur pasir. Serbuk kuning bunga akasia menangisi dahan yang tergeletak mati, usai bertarung dengan gergaji.

Gelombang suara frekuensi tinggi melingkupi atmosfer. Sketsa perempuan muda dan taman kota melebur. Menjadi lukisan abstrak dengan warna-warni magrib yang mengabur. Kuakan gagak menarik jiwaku kembali. Dengan napas tersengal, aku meraba keberadaan otak, jantung, dan ... rasa perih di ujung jari.

Aku meringis, mencengkram duri semakin erat. Gemetar bukan bahasa gentar. Sakit ini tak sebanding dengan kelu hati. Umur kota ini tidak akan lama lagi. Taman, lautan, bahkan permakaman, digerogoti bangunan mewah, menyebar seperti wabah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline