Lihat ke Halaman Asli

Sahabat Cuek Luka Mengajariku: Belajar Tulus, dari Luka Pertemanan Sejati

Diperbarui: 27 September 2025   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangan yang saling menggenggam (Sumber: Dokpri/NoverianiTel)

Pernahkah kamu merasa sudah memberi yang terbaik dalam sebuah pertemanan, tapi justru tidak mendapat hal yang sama ketika kamu butuh? Itu yang kualami. Rasanya sakit, pahit, dan membuatku bertanya-tanya: apakah aku yang salah, atau bagaimana?

Aku menganggap dia sahabat sejati. Aku peduli padanya, bahkan ketika dia pulang kampung, aku selalu menanyakan kabarnya. Aku berusaha hadir, bahkan sampai rela mencuci bajunya ketika dia sibuk. Aku pikir, begitulah bentuk kasih sayang seorang sahabat. Namun, kenyataan berkata lain.

Ketika aku sakit, kami satu kelas dan satu asrama dia tahu kondisiku seperti apa. Dalam hatiku, aku berharap ada sedikit perhatian darinya. Bahkan hanya sekadar menawarkan, "Kak, sini aku bantu cuci bajumu kalau kakak nggak kuat." Tapi yang terjadi justru sebaliknya: dia cuek, seolah tidak peduli.

Yang lebih membuatku terharu, orang lain yang tidak terlalu dekat atau tidak akrab denganku justru rela menolong tanpa diminta. Mereka dengan tulus menawarkan bantuan, bahkan mau mencuci bajuku. Saat itu, aku benar-benar merasa campur aduk: sedih karena sahabat yang kuanggap dekat bersikap dingin, tapi juga terharu karena ada orang yang tidak kusangka peduli.

Dari pengalaman itu, aku belajar bahwa pertemanan sejati bukan hanya soal seberapa sering kita bersama, atau seberapa lama kita kenal. Persahabatan sejati adalah tentang ketulusan, tentang hadir di saat senang maupun susah. Amsal 17:17 mengingatkan saya bahwa, "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran."

Aku juga belajar untuk tidak mengukur nilai diriku dari bagaimana orang lain memperlakukan aku. Nilai diriku bukan dari akademik, seberapa teori,atau materi yang saya tahu, dan bukan dari seberapa "berguna" yang aku bagikan keorang lain, melainkan dari siapa aku di hadapan Tuhan. Mazmur 34:19 berkata, "Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya." Ayat ini meneguhkan aku bahwa meski sahabat bisa mengecewakan, Tuhan tidak pernah meninggalkan aku.

Sekarang aku tahu, kadang Tuhan izinkan kita merasa sakit hati supaya kita bisa membedakan mana teman yang benar-benar tulus, dan mana yang hanya sekadar "ada" ketika butuh. Luka ini mengajarkanku untuk lebih bijak dalam memberi hati, tapi juga tidak menyesal karena pernah tulus.

Aku tetap percaya, sahabat sejati itu ada. Mereka mungkin jarang, tapi berharga. Aku berdoa semoga suatu hari nanti aku bisa dikelilingi orang-orang yang tulus, yang bisa saling menopang sebagaimana yang tertulis dalam Pengkhotbah 4:9--10, "Berdua lebih baik daripada seorang diri... karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya."

Jika kamu pernah merasa seperti aku, ingatlah: kamu tidak sendiri, dan kamu tidak salah. Justru hatimu yang tulus adalah harta berharga. Teruslah jadi orang baik, meski pernah dikecewakan. Karena pada akhirnya, Tuhan akan menghadirkan sahabat sejati di waktu yang tepat.

Jadi, persahabatan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan tindakan. Dan dalam luka sekalipun, daristu kita bisa belajar arti tulus yang sesungguhnya. Semanagattt

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline