Lihat ke Halaman Asli

Kecelakaan-Kecelakaan dalam Berbahasa

Diperbarui: 8 Mei 2020   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi Shutterstock

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari ulasan sebelumnya, terkait pola komunikasi krisis yang seharusnya diterapkan oleh pemerintah dalam kondisi wabah. 

Kebetulan, penulis berkesempatan mengikuti kelas daring gratis bersama Mas Ivan Lanin, penemu laman Wikimedia, di Festival Patjar Merah Kaget Virtual yang mengangkat tentang “Kecelakaan-Kecelakaan dalam Berbahasa”. 

Di awal sesi, kami disuguhi alasan dari meneliti penggunaan bahasa sehari-hari. Ya, tentu saja karena kami adalah orang Indonesia! 

Hal ini sekaligus menjawab anggapan masyarakat bahwa yang terpenting dari komunikasi adalah tersampaikannya pesan; ini benar, namun hanya dalam konteks informal, bukan formal.

Pada dasarnya, fungsi bahasa sendiri ada tiga. Pertama, Alat Komunikasi, pesan akan tersampaikan lebih baik jika ditata dengan kaidah yang sesuai. 

Kedua, Alat Ekspresi, seperti puisi. Jika di Inggris selalu ada jawaban dari pertanyaan ‘how do you feel?’ seperti ‘I’m good’, ‘I’m mad’, dan sebagainya, berbeda dengan Indonesia yang hanya menjawab ‘yaa gitu, deh’ atau ‘biasa aja’. 

Ketiga, Alat Sosial, seperti bahasa slang, ngalam, dan sebagainya. Bahasa-bahasa tersebut tidaklah merusak bahasa Indonesia hanya jika digunakan untuk kalangan sendiri.

Adapun kecelakaan-kecelakaan dalam berbahasa paling mendasar ialah karena seseorang tersebut tidak peduli, mementingkan kelogisan dan asal tersampaikan. Bisa juga karena tidak mengetahui kaidahnya atau tidak cermat. 

Menurut Prof. Koentjaraningrat (1960-an) , seorang ahli antropologi, di antara rintangan-rintangan mental masyarakat Indonesia adalah memang tidak begitu peduli tentang kaidah bahasa ini.

Pun dengan survey yang dilakukan pada 2018 terhadap Warganet menunjukkan banyak kekeliruan pada penulisan beberapa kata seperti ‘merubah’, penggunaan kata ‘kita’ dan ‘kami’, dan kapan ‘di’ harus dipisah dan disambung. 

Belum lagi permasalahan editorial lain yang harus dihadapi oleh editor-editor di Indonesia seperti salah ketik, tanda baca, tata bahasa, data, dan cara penyampaian pesan dalam tulisan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline