Solopreneur adalah pemimpin diam-diam di tengah hiruk pikuk dunia kerja digital.
“Saya tidak punya atasan, tapi saya punya tujuan.”
Itulah salah satu kalimat yang dilontarkan oleh Zuaeriyah, seorang seniman produk Henna Art & Craft yang membangun brand @Zuae_Henna_art (Instagram) sendiri dari nol. Tanpa hiruk-pikuk kantor, tanpa struktur organisasi kompleks, dan tanpa perlu status “CEO,” Zuaeriyah justru menunjukkan bagaimana seseorang bisa memimpin, bukan orang lain, tapi dirinya sendiri dan komunitas yang dibentuknya.
Dalam dunia kerja yang makin volatil, penuh badai pemutusan hubungan kerja (PHK), disrupsi digital, dan krisis kepercayaan terhadap sistem, lahirlah sekelompok individu yang memilih jalan sepi: menjadi solopreneur.
Solopreneur: Bukan Sekadar Usaha Sendiri
Bagi sebagian orang, menjadi solopreneur terdengar seperti pekerjaan cadangan. Tapi bagi mereka yang menjalaninya, ini adalah cara hidup. Solopreneur bukan sekadar usaha mikro yang dilakukan sendirian, melainkan bentuk kepemimpinan berbasis makna (purpose-driven leadership). Kepemimpinan yang tidak memerlukan panggung besar, karena nilai-nilainya berbicara lebih lantang daripada gelar.
Penelitian Herari, Waluyo & Rubiyanto (2026) menunjukkan bahwa digital passion solopreneurs seperti @koleksikikie (wirausaha aksesori handmade), @pritahw (konsultan komunikasi) dan @ajipedia (produk digital untuk produktivitas) menavigasi bisnis mereka dengan menggabungkan piramida kebutuhan Maslow, filosofi ikigai, serta 7 level kesadaran kepemimpinan ala Richard Barrett.
Mereka memimpin diri sendiri melalui authenticity, bukan otoritas. Mereka menggerakkan komunitas melalui narasi, bukan instruksi.
Perempuan dan Kepemimpinan Diam-Diam di UMKM
Di Indonesia, 64,5% dari pelaku UMKM adalah perempuan (KemenKopUKM, 2025). Angka yang besar ini tidak selalu mendapat sorotan setimpal. Mayoritas dari mereka adalah solopreneur, menjual kue buatan rumah, membuka jasa desain dari kamar sempit, atau menjadi edukator informal di media sosial.
Namun di balik angka itu, tersembunyi bentuk kepemimpinan yang jarang dibicarakan. Perempuan yang memimpin dengan empati. Yang menyelaraskan bisnisnya dengan nilai keluarga, waktu, dan kesehatan mental. Mereka jarang menyebut diri mereka “leader,” tetapi memimpin dengan tenang, dan seringkali tanpa validasi publik.
Kepemimpinan seperti ini relevan dengan konsep self-leadership, suatu bentuk kepemimpinan berbasis refleksi, koneksi, dan kehadiran penuh makna. Di era yang terlalu bising dengan pencitraan digital, para solopreneur perempuan ini justru mengajarkan keheningan sebagai strategi keberlanjutan.