Lihat ke Halaman Asli

Nizar Ibrahim H

Pejalan Sunyi

Lelaki Malam

Diperbarui: 21 Juni 2018   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setidaknya sudah dua minggu aku mengenal lelaki itu. Dan sangat wajar jika aku menganggap dirinya masih tabu untuk dibahas. Tapi, anehnya, selalu ada waktu untuk meracik sebuah puisi untukku. Entah saat aku memintanya atau aku lupa untuk menagih kata-kata yang tidak dijanjikannya. Rasa-rasanya, tidak ada yang aneh dariku; menarik pun tidak. Tanpa embel-embel apa pun, diceritakannya padaku tentang kesibukannya. Bukan hanya itu, setiap aktivitas yang tidak menyibukkan juga tidak jarang aku diberi tahu. 

Semoga bukan cinta. Seumur-umur, aku belum begitu tertarik dengan persoalan cinta. Lebih tepatnya lagi, tidak, bukan belum. Meskipun ia berbeda dari beberapa lelaki, tetap saja aku berharap tidak akan ada cinta sepasang manusia; barangkali akan melahirkan kemesraan, lalu kerinduan dan sentuhan-sentuhan lara. Terakhir, bersama atau melupa. Sungguh, kesakitan tanpa ampun, jika rasaku diobrak-abrik keniscayaan berwujud wacana. Seperti itulah ia, sulit untuk kupegang, tetapi ia mengerti apa yang patut untuk kusimpan.

Semalam ia mendongeng dengan gayanya yang khas menjadi seorang filsuf. Ia bercerita soal moral. Padahal, tidak ada lima menit dia menjadi manusia normal. Menanyakan apa yang kuajarkan di kelas, bagaimana keadaan murid-muridku, kadang membuat lelucon dengan menyisipkan tentang tokoh pemikir kesukaanku. Ia pandai bermain analogi. 

Sampai-sampai aku tercengang saat ia mendadak berubah menjadi seorang pemikir. Katanya, warung kopi sanggup membingungkan dirinya tentang moral. Kurang ajar! Dia selalu mengajakku berpikir tanpa belas kasihan. Dan aku selalu tertawa saat mengingat kata-katanya. Mulai dari keadaan normal, berubah secara tiba-tiba dan kembali lagi menjadi dia yang biasanya.

"Coba tebak. Apa yang membekas dari lilin?"

"Lilin?"

"Iya. Lilin."

"Lelehannya?"

"Yakin?"

"Sebentar.." aku diam melihat matanya, "Cahaya, putih, sayup? Atau rindu?!"

"Yang membekas dari lilin bukan lelehannya, Kekasih. Tapi, wajahmu sebelum gelap, kata mbah Tejo." Lalu ia terdiam dengan tangan kiri menyangga dagu, mirip seperti patung Socrates.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline