Lihat ke Halaman Asli

Ninik Sirtufi Rahayu

pengangguran banyak acara

Bukan Jembatan Sampah

Diperbarui: 8 April 2024   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bukan Jembatan Sampah

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Tinggal di sebelah sungai merupakan keinginan masa kecil karena mudah untuk memperoleh air guna menyiram tanaman hias. Namun, setelah pada akhirnya memiliki rumah bersebelahan dengan sungai bukan manfaat tersebut yang penulis dapat. Sungai masa kini telah berubah fungsi karena masyarakat memanfaatkannya sebagai pengganti tempat sampah.

Sedih, kesal, dan geregetan melihat siapa pun dengan enaknya membuang sampah di jembatan sebelah rumah. Padahal, penulis sendiri rela membuang sampah di tempat pembuangan sampah berupa gerobak sampah atau tempat transit pembuangan sampah yang cukup jauh dari rumah. 

Sebenarnya setiap RT memiliki petugas pembuang sampah atau pasukan kuning yang dikordinasi. Namun karena kontur tanah tempat tinggal penulis seperti berada pada dasar mangkuk,  penulis harus tahu diri dengan mengantar sendiri sampah tersebut ke gerobak sampah. Sayangnya, justru orang lain dan anggota masyarakat daerah lain malah seringkali menjadikan jembatan sungai itu sebagai tempat pembuangan sampah.

Seringkali salah seorang tetangga penulis menderita karena rumah mereka kebanjiran. Bahkan, minggu lalu anggota masyarakat di bibir sungai tersebut mengalami kebanjiran hingga setinggi leher orang dewasa. Akan tetapi, perilaku masyarakat pun tidak berubah. Setiap saat, terutama malam hari, kami pasti mendengar suara gedebuk dari mobil atau motor. Setelah itu mereka  bersegera pergi. Jelas, barang yang berbunyi nyaring tersebut adalah tas plastik besar berisi sampah yang dilemparkan!

Yang membuang sampah itu sungguh tidak berperikemanusiaan. Mereka tidak berpikir jika sampah dapat menyumbat aliran sungai sehingga masyarakat di hilir kebanjiran. Mereka pun tidak pernah mengerti bahwa polusi berupa bau tidak sedap sangat mengganggu kehidupan masyarakat yang berada di sebelah menyebelah jembatan itu.

Rasanya penulis ingin berteriak sekencang-kencangnya atau marah-marah, tetapi kepada siapa? Kepada tetangga sendiri yang rutin membuang sampah di tempat itu? Rasanya penulis telah memberitahukan secara halus dan sopan akan dampak pembuangan sampah tersebut, tetapi perilaku masyarakat tidak berubah juga. Melapor kepada RT? Sudah juga penulis lakukan, tetapi kurang mendapat respons positif apalagi perubahan tindakan. Mengirim SMS pengaduan melalui koran lokal pun sudah penulis lakukan, tetapi upaya itu pun sia-sia belaka. 

Jika penulis memesan secara mandiri tulisan mahal berbunyi, "Dilarang Membuang Sampah di Jembatan Ini" penulis bukan pemilik pribadi sungai dan jembatan itu. Jangan-jangan malah mendapat perlawanan. Sangat dilematis!

Mendengar cerita saudara yang pernah datang ke Belanda dan melihat tayangan video yang dibuat tentang keberadaan sungai di negara itu yang dipelihara sedemikian rupa, penulis sangat iri. Masyarakat Belanda sangat menghargai keberadaan sungai bahkan memberdayakannya sebagai tempat wisata air.

Penulis berandai-andai. Seandainya masyarakat kita sedikit memiliki rasa perhatian terhadap sungai, tentu bencana banjir dapat diminimalisasi. Bahkan, sungai dapat dimanfaatkan sebagai tempat budi daya ikan dengan rumpon dan karamba, tempat pemancingan, juga tempat wisata jika memungkinkan. Karena itu, melalui koran online kecintaan masyarakat ini penulis ingin mengajak masyarakat pembaca meningkatkan kepedulian terhadap keberadaan sungai. Semoga ke depan seiring dengan kepedulian kita, masyarakat yang memiliki hunian di bibir sungai merasa lega karena polusi bau pun semakin reda.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline